“Hari ini…” ucapnya
dengan suara yang agak parau. “..telah Kusempurnakan bagimu agamamu. Dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai
agamamu..”
“Allahu
Akbar!”
Gegap gempita
memenuhi rongga dada para pejuang Islam itu. Setelah perjuangan yang sekian
lama, perjuangan yang meminta segalanya: harta, raga, bahkan jiwa mereka.
Setelah peluh keringat bahkan darah yang mereka korbankan untuk memperjuangkan
tegaknya Islam, ayat yang satu ini seolah menjadi telaga pelepas dahaga mereka
di tengah perjalanan panjang dakwah ini.
Tapi tidak untuk
satu sosok. Sosok yang hari itu menjadi perhatian panggung langit itu tidak
bergembira seperti yang lainnya. Tidak terlihat kegembiraan di wajahnya.
Padahal, dia adalah sosok yang paling lama memperjuangkan Islam ini bersama
Rasulullah. Padahal, dia –dan Rasulullah– adalah sosok yang paling pantas
bahagia dengan berita ini. Tapi orang itu, sosok itu, dia tidak bergembira.
Justru, tangis yang keluar dari mata jernihnya.
“Demi Allah, wahai
kekasih Allah!” ucapnya dengan menjerit. Derai air mata tidak tertahankan lagi
menghiasi wajahnya yang kurus. “Demi Allah, anak dan istriku sebagai penebusmu!
Anak dan istriku sebagai penebusmu, wahai kekasih Allah!”
Hari itu benar-benar
hanya milik Abu Bakar. Ya. Sahabat, kekasih, sekaligus mertua dari Rasulullah.
Orang-orang bingung melihat derai tangis dan jeritan sosok yang penuh pesona
tersebut. Tidak satupun mengerti. Ya, hanya dia yang mengerti. Hanya Abu Bakar,
yang mengerti bahwa turunnya ayat tersebut adalah pertanda bahwa tugas
Rasulullah telah selesai. Bahwa tak lama lagi, sosok qudwah terbaik umat
manusia tersebut akan meninggalkan kefanaan dunia ini.
Abu Bakar, nama yang
paling dekat dengan Rasulullah. Bahkan sang Rasul menyatakan bahwa dia adalah
orang yang paling Rasulullah cintai di kalangan laki-laki. Tentu dapat
terbayang, betapa sedihnya Abu Bakar ketika isyarat itu tiba. Dia menjerit,
padahal biasanya dia bersuara lembut. Dapatkah kita bayangkan bagaimana
perasaannya ketika Rasulullah wafat?
Tidak. Dia tidak
seperti yang kita bayangkan. Dia adalah Abu Bakar, bukan kita. Sosoknya justru
hadir di tengah derai tangis umat muslim sebagai sosok yang setegar karang.
Hari itu kelabu. Ya,
Umar bin Khattab tengah berkeliling di kota Makkah. Tangan kanannya mengepal
teguh sebuah pedang. Sosoknya yang tinggi besar membuat siapapun akan berpikir
dua kali jika ingin menghentikannya. “Wahai umat Mekkah!” ucapnya dengan mata
yang memerah dan wajah yang juga merah padam. “Siapapun yang mengatakan bahwa
Rasulullah telah mati, akan aku penggal lehernya!” ucapnya lantang.
“Ia tidak mati! Ia
hanya dipanggil oleh Allah sebagaimana Nabi Isa diangkat ke langit! Suatu saat
dia akan kembali kepada kita!” lanjutnya dengan suara yang tak kalah
menggelegar.
Di saat itulah,
pribadi sebening nurani Abu Bakar hadir. Kokoh jiwanya selayak batu karang di
lautan. “Duduklah, Umar..” ucapnya. “Barangsiapa yang menyembah Muhammad,
sesungguhnya dia telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah,
sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.” Umar terdiam menatap Abu
Bakar.
“Muhammad itu tidak
lain hanyalah seorang rasul,” ucap Abu Bakar dengan suara yang tegas namun
lembut. “…sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika
dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
(QS Ali Imran: 144)” lanjutnya.
Pedang Umar
terjatuh. Sosok yang besar dan gagah itu tersungkur. “Demi Allah, wahai Abu
Bakar..” ucapnya sendu seraya berlinangan air mata. “Seakan-akan ayat itu baru
turun dan belum pernah aku dengar sebelumnya.” lanjutnya.
Setiap kita, sulit
dipungkiri, pasti terkagum dengan pesona kepribadian beliau. Kejernihan niat
serta ketajaman pandangan hatinya dibingkai dengan pribadi yang mempesona. Kita
tidak meragukan keimanan serta keperkasaan Umar bin Khattab. Bahkan
syaithan-pun terbirit ketika ada Umar di jalan yang dilewatinya. Tapi tidak
seorangpun di antara kita meragukan kebeningan iman Abu Bakar.
Masih banyak hal
yang bisa diambil dari pribadi Abu Bakar yang mempesona. Dia menyimpan sejarah
perjalanan yang teramat panjang dengan Rasulullah. Namun sekali lagi, agaknya
tak seorangpun dari kita yang tidak ‘iri’ dengan kebeningan iman seorang Abu
Bakar, sebagai pesona tertingginya. Dialah Abu Bakar, dan itulah mengapa aku
selalu mengaguminya.
Oleh: Fathan Mubina