Beberapa waktu lalu, muncul ide dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk menggulirkan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Di dalam RUU itu Gender
didefinisikan sbb: “Pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya
tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut
waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis
kelamin lainnya”. Dengan kata lain, Kesetaraan Gender sebagai kesamaan
kondisi dan posisi yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban
perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat
dan Negara. Rancangan UU itu menuai pro dan kontra. Sebenarnya bagaimana
Islam memandang konsep Kesetaraan Gender ini?
Konsep “Kesetaraan Gender” dari segi bahasa dan istilah
sebenarnya tidak ditemukan padanannya dalam istilah Islami. Yang ada
adalah prinsip al-Musawah (persamaan) laki-laki dan perempuan dalam
hal-hal berikut:
1. Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala An Nisa’: 1
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
2. Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan
dengan segala kelengkapan rizki-Nya serta potensi ketakwaan kepada
Allah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’aladalam surah Al-Isra:
70 dan Al-Hujurat: 13
“Ddan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
3. Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah
(menerima taklif) serta hak pahala yang sama disisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Ali
Imran: 195, An Nisa: 124, An Nahl: 97 dan Al-Ahzab: 35
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka
ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala
di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”
“ Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri
Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.”
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
4. Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar aturan hukum
Allah dan susila di dunia sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam surah Al-Maidah: 38, dan An-Nur: 2
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman. “
5. Persamaan dalam hak amar makruf nahi munkar kepada penguasa
dalam kehidupan social politik keummatan sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Ali Imran: 104 dan 110, At-Taubah: 71
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Islam juga mengakui hak-hak perempuan dalam hal kepemilikan pribadi,
sewa-menyewa, jual-beli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui
dan tidak ada hambatan sedikitpun. Demikian pula dijamin hak-hak mereka
untuk belajar dan mengajarkan ilmunya, berkontribusi bagi kemajuan
bangsa dan negara. Istri-istri Rasulullah aktif mengkordinir dan
mobilisasi kaum hawa dalam jihad fi sabilillah. Khadijah ra dikenal
sebagai pebisnis, dan Aisyah ra dikenal keluasan ilmunya sehingga
ratusan sahabat berguru kepada beliau dan meriwayatkan hadis Rasul dalam
majelis ilmunya. Demikian pula istri-istri sahabat nabi. Asma’ putri
Abu Bakr ra berperan penting dalam hijrah Rasul dan ayahnya ke Madinah.
Juga putri-putri Rasul, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah ra aktif
berjihad mendampingi suami-suami mereka, Utsman bin Affan ra dan Ali bin
Abi Thalib ra. Khalifah ‘Umar ra mengangkat al-Syifa’ seorang wanita
sebagai pengawas pasar kota Madinah.
Islam memberi kesempatan yang luas kepada wanita untuk BERIBADAH,
BELAJAR dan BEKERJA. Khususnya jika itu menjadi tuntutan keluarga atau
masyarakatnya dengan tetap memperhatikan adab-adab yang menjadi jaminan
perlindungan dan pemeliharaan diri dari tindak penganiayaan. Termasuk
penganiayaan suaminya yang fujur, orang tuanya yang melampaui batas, dan
anaknya yang durhaka atau menyakiti.
Selain mengakui adanya PERSAMAAN antara laki-laki dan perempuan dalam
hal kemanusiaan, kemuliaan, dan hak-hak umum yang terkait langsung
dengan posisinya sebagai hamba Allah SWT, Islam telah MEMBEDAKAN
perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan
kewajiban. Itu dilakukan sesuai dengan adanya perbedaan naluriah dan
alami (nature) di antara keduanya dalam fungsi, peran dan tanggung
jawab. Agar masing-masing jenis dapat menunaikan tugas-tugas pokoknya
dengan sempurna.
Syariat Islam tegas melarang diskriminasi dan kezaliman terhadap
perempuan, sehingga mengakibatkan hak-haknya dikurangi dan kemuliaannya
dinodai. Di dalam Islam tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, untuk
tujuan memanjakan laki-laki. Syariat Islam dalam PEMBEDAAN antara
laki-laki dan perempuan, ditetapkan bukan karena alasan untuk menindas
atau menzalimi hak perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang
kuat di antaranya bahwa hak yang diterima masing-masing itu harus sesuai
dengan beban dan tanggung jawab sosial ekonominya di tengah keluarga
dan masyarakat, perbedaan fisiologis dan psikologis dalam kendali emosi,
terhindar dari percampuran nasab anak.. Di antara bentuk PEMBEDAAN
ATURAN ISLAM itu, sesuai dalil-dalil Al-Quran dan Hadits, adalah:
1) Hak Waris Anak Laki-laki dan Anak Perempuan dengan porsi 2:1, 2)
Persaksian 2 orang perempuan setara dengan 1 orang laki-laki dalam soal
muamalah dan hak, 3) Pembayaran diyat/denda pembunuhan karena korban
pembunuhan berkelamin perempuan setengah dari diyat/denda korban
laki-laki. 4) Hak Talak di Tangan Suami (Laki2), tidak dimiliki oleh
Istri (Perempuan), 5) Perempuan Tidak bisa Menjadi Wali Pernikahan, 6)
Laki-laki Boleh Berpoligami, tapi Perempuan tidak boleh Poliandri, 7)
Istri Harus Menunggu Masa Iddah ketika Cerai/Talak Hidup atau Mati dari
Suaminya, sementara Suami tidak ada Masa Iddah karena Cerai Hidup atau
Mati dari Istrinya. 8) Perempuan Haram jadi Imam Shalat dan Khatib
Jumat. 9) Shaf Perempuan di Belakang Shaf laki-laki dalam Shalat Jamaah.
10) Kambing Aqiqah 2 ekor untuk anak laki-laki dan 1 ekor untuk anak
perempuan. Dll.
Sehingga dengan demikian kita melihat bahwa dalam soal hubungan
antara laki-laki dan perempuan, baik PERSAMAAN maupun PEMBEDAAN yang ada
aturannya dalam Islam itu semua berdasarkan WAHYU DARI ALLAH Subhanahu
wa Ta’aladan bukan hasil KONSTRUKSI BUDAYA manusia, sehingga ia bersifat
lintas zaman dan lintas budaya. Oleh karena itu definisi tentang Gender
adalah “pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan
dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan
budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya”, jelas
bertentangan dengan norma Islam.
Oleh karena itu, di masa Rasulullah hidup saat wahyu Al-Qur’an turun
sempurna dan dikukuhkan dalam praktik contoh hidup dalam diri Rasul
sebagai idealitas sosial Islam paripurna, kaum hawa berlomba dalam
kebajikan dengan kaum laki-laki meraih kesempurnaan hidup. Namun sehebat
apapun posisi kaum hawa di saat 3 kurun terbaik umat Islam (sahabat,
tabiin, dan tabi’ tabiin), mereka tidak pernah berpikir untuk memprotes
berbagai syariat Islam yang membedakan mereka dari kaum laki-laki
muslim. Apalagi lantang bersuara bahwa syariat Islam itu bias laki-laki,
patriarkhis, dan zalim kepada perempuan, seperti tokoh-tokoh feminis
modern di dunia Islam saat ini.
Tidak ada tokoh wanita seperti Aisyah Ummul Mu’minin, Ummu Salamah,
Al-Syifa’, dan sederet nama top muslimah lainnya yang jadi cermin
idealitas sosial Islam, memberanikan diri misalnya untuk memimpin ibadah
Jumat sebagai khatib dan imam. Atau mereka menuntut jatah warisan
sebagai seorang anak perempuan yang sama rata dengan saudara kandung
laki-lakinya. Kita tak pernah mendengar mereka menggugat normatif
syariat, dengan dasar mewujudkan maqashid syariah, hanya karena mereka
sebagai wanita ideal yang hebat. Intinya karena mereka paham dan sadar
bahwa Islam itu aturannya adil; mempersamakan hal-hal yang memang setara
dan sederajat buat laki-laki dan perempuan, dan membedakan hal-hal yang
memang harus berbeda di antara keduanya. Tidak pernah ada pola berpikir
sexis dan merasa tertindas dalam benak dan kepala para wanita muslimah
top tersebut.
Oleh sebab itu, kita juga menolak segala model penafsiran ulang yang
berdampak pada perombakan total terhadap hukum-hukum Islam dengan metode
historis, sosiologis dan antropologis (hermeneutika) agar sesuai dengan
prinsip keadilan jender. Di beberapa kampus Islam ironisnya malah gemar
menerapkan tafsir liberal itu.
Selain itu, RUU-KKG (pasal 4) memberikan gambaran yang keliru dan
berlebihan tentang kemajuan dan peran perempuan dalam pembangunan,
sehingga memaksakan keterlibatan perempuan di ruang publik, di semua
lembaga pemerintah dan non-pemerintah, dan mengecilkan makna peran
perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga dan pendidik anak-anak di rumah.
Sehingga wajarlah, apabila kita menolak paham kesetaraan jender –yang
sudah khas dan melekat dengan paham kebencian dan persaingan antara
laki-laki dan perempuan- yang berasal dari Barat, dan apalagi jika
dikait-kaitkan dengan ajaran Islam. Sebab, jika ditimbang dari segi
maslahat dan mafsadat yang dibawa oleh paham tersebut, maka mafsadatnya
jauh lebih besar, yang sudah pasti mengancam ketahanan keluarga dan
kesejahteraan anak. Karena paham tersebut berpotensi mengabaikan: 1)
peran keluarga sebagai institusi penting dalam kehidupan manusia, 2)
peran keluarga sebagai pencetak SDM pembangunan dan masyarakat madani,
3) kepentingan anak sebagai insan generasi penerus kehidupan. Sehingga
berlakulah kaidah fikih, Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih (menolak kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan).
Wallahu a'lam.
Penulis : Fahmi Salim, Lc. MA.