Seorang pemuda muslim nan taat itu tercenung. Wajahnya murung. Nampak
jelas ada permasalahan berat yang menggelayuti hatinya. Seperti buah
simalakama, dan sungguh tak ia kira sebelumnya. Ayah yang dicintainya
sepenuh hati, ternyata mengambil sikap kurang terpuji. Dia menelikung
kaum muslimin dengan fitnahan yang keji. Akibatnya, terdengar kabar
santer bahwa ayahnya akan dibunuh, sebagai hukuman atas perbuatannya.
Sebagai anak, alangkah sedih hatinya. Tak dapat ia bayangkan jika
ayahnya dibunuh. Namun sebagai muslim yang taat, dia juga sangat malu
dengan perbuatan ayahnya. Ini benar-benar simalakama! Persoalan pelik
ini membuat dia galau luar biasa.
Terdiam sejenak, lalu setelah menghela nafas panjang, dia menguatkan diri untuk berkata, “Oleh
karena itu, ya Rasulullah, bila Anda, mau tidak mau harus mengambil
kebijakan itu, maka perintahkanlah tugas itu kepadaku. Pasti aku akan
membawa kepalanya kepadamu.”
Kini, sebongkah beban berat di hatinya seperti terangkat sudah. Tak
tahu lagi dia harus bersikap bagaimana, selain mengadu tentang kegalauan
hatinya, kepada pemimpin yang ia anggap akan bijak menyikapi
permasalahannya.
Mendengar penuturan si pemuda, dengan lembut Rasulullah berkata, “Tidak,
nak. Bahkan kami akan bersikap lembut kepadanya, dan berlaku baik
kepadanya dalam bergaul, selama dia masih hidup berdampingan dengan
kita.”
Mendengar jawaban Rasulullah, meneteslah air mata si pemuda. Ayahnya
selamat, tidak akan dibunuh. Meskipun ia sangat malu dengan tindakan
ayahnya, dia masih ingin ayahnya hidup bersamanya. Dia masih ingin
berbakti padanya, dan siapa tahu seiring waktu ayahnya akan bertaubat,
mengakui kekeliruannya.
Ini pelajaran pertama. Pemuda itu, meskipun namanya tak begitu
dikenal dalam sejarah, sesungguhnya telah memberikan pelajaran sangat
berharga pada kita semua. Tentang mengatasi rasa galau, yang sering kali
menghinggapi jiwa para pemuda. Kegalauan yang sifatnya sangat
manusiawi, namun karena cahaya Islam telah menyelimuti hatinya, maka dia
berani mengambil keputusan yang luar biasa: menawarkan diri sebagai
algojo pembunuh ayahnya! Ketaatannya pada Islam mampu membuat dia
berpikir jernih, di tengah gejolak hati yang hebat berkecamuk. Wahai,
apakah kita para pemuda di jaman ini, sanggup memiliki sifat ksatria
seperti ini?
Tak berhenti di sini. Saat hampir memasuki Madinah, si pemuda
berjaga di depan gerbang. Dia siaga menghunus pedangnya, meneliti
satu-persatu orang yang yang akan masuk Madinah. Ketika dia temukan
wajah ayahnya, yang sangat ia cintai, ada diantara rombongan, tegas ia
berkata sambil menghunuskan pedangnya, “Kembalilah ayah ke belakang!”
Ayahnya, tentu terlonjak kaget. Tak menyangka anaknya berani melakukan perlawanan. Lebih membela Rasul daripada ayahnya. Spontan Ayahnya berkata, “Memang siapa kamu kok melarang ayahmu masuk? Kasihan sekali ya kamu itu.”
Sang anak dengan tegas menjawab, “Demi Allah, Ayah tidak boleh melewati tempat ini, hingga Rasulullah mengijinkanmu masuk. Karena sesungguhnya, beliaulah yang lebih kuat dan perkasa sedangkan engkau adalah orang yang lebih lemah dan lebih hina.”
Ucapan nan sederhana, namun telak. Membalikkan fitnahan yang
terlontar keji dari mulut sang ayah, yang jauh hari sebelumnya dengan
pongah berkata, “Apakah mereka (kaum muhajirin) telah berlepas dari diri
kita dan merasa lebih banyak dari kita, di negeri kita sendiri? Demi
Allah, kita tidak membekali diri kita dan kantong2 orang Quraisy
melainkan sebagaimana dikatakan oleh orang-orang terdahulu, “gemukkanlah anjingmu, maka ia pasti memakanmu’.
Oleh karena itu, demi Allah, bila kita telah kembali pulang ke Madinah,
maka benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
daripadanya”.
Ucapan yang membuat panas telinga kaum muslimin. Ucapan yang membuat
Umar yang duduk di samping Rasul saat ada aduan tentang ucapan tersebut,
segera bereaksi, “Ya Rasul. Perintahkan Abbad bin Bisyr untuk
membunuhnya”. Namun dijawab Rasul dengan lembut, “Lalu bagaimana wahai
Umar, bila orang-orang lalu berkata bahwa Muhammad telah membunuh
sahabatnya?”
Duhai siapa dia, sang pemuda yang begitu mengagumkan dalam mengatasi
kegalauannya? Dialah Abdullah, anak dari Abdullah bin Ubay, seorang
tokoh Madinah yang disegani. Tokoh yang hampir saja mendapatkan mahkota
penguasa, andai Rasul tidak hijrah ke Madinah. Tokoh yang membuat sebab
turunnya ayat-ayat yang terbungkus dalam satu surat, dengan nama yang
membuat tubuh bergidik; Surat Al-Munafiqun. Ya, surat yang khusus
ditujukan pada Abdullah bin Ubay dan komplotannya, tapi tentu bukan
untuk anaknya yang sangat taat.
Pelajaran kedua. Mari lihatlah ucapan pongahnya. Ucapan yang menjadi
sebab turun ayat. Ucapan yang membuat geram kaum muslimin dan berhak
membunuhnya, andai mau. Lalu mari bandingkan ucapan itu dengan
ucapan-ucapan jaman kini. Terlihat, ucapan Abdullah bin Ubay
terlihat masih ‘mendingan’. Tapi itu pun telah berefek luar biasa. Lalu
bagaimana dengan ucapan-ucapan kita sendiri? Merasa muslim, lalu
seenaknya memaki, merasa sebagai orang yang paling baik? Sungguh
jerat-jerat kemunafikan bersiap menghadang, jika kita tak hati-hati.
Berangkat dari hati yang sakit, lalu lisan menjadi pembantu setia untuk
mengeluarkan kata-kata keji. Sementara, ayat Quran tentu takkan pernah
turun lagi, untuk menjelaskan siapa saja yang munafik. Maka, pantaslah
Allah mengancam sifat kemunafikan dengan siksaan abadi di keraknya
neraka. Karena perilaku munafik yang menelikung, seolah-olah ada dalam
barisan tapi menggunting dalam lipatan. Sulit sekali dicari celah
salahnya, karena terbungkus dalam kata-kata dan perilaku licin berbisa.
Mari, bersama kita hati-hati menyikapi. Juga dengan sepenuh doa, agar
kita terhindar dari sifat munafik. Juga doa sepenuh pasrah, saat ada
badai kemunafikan memutarbalikkan fakta sedemikian rupa. Karena doa,
bagi orang-orang yang teraniaya, tidak ada lagi pembatas antara dirinya
dengan Rabb-nya.
Allahumma arinal haqqo haqqon, war zuqnat tibaa’ah. Wa arinal bathila bathilan, warzuqnaj tinaabah.
Penulis : Mukti Amini Farid