Oleh:
Muhammad
Elvandi, Lc
Poin
lain dari sepuluh hikmah kesederhanaan Mekkah adalah tidak ada pemerintahan
terpusat, ini yang ketiga. Yang ada hanyalah sebuah majelis yang terdiri dari
10 dewan yang mewakili 10 suku Arab seperti demokrasi. Dan masih ada beberapa
sistem sosial politik buatan mereka sendiri yang pada dasarnya mempunyai sisi
kebaikan. Misalnya sistem Jiwâr, saat seseorang menjamin keselamatan yang lain.
Sehingga jika yang terjamin itu diganggu maka ia akan menghadapinya. Rasulullah
memanfaatkan sistem ini untuk kepentingan dakwah Islam, sehingga beliau
mengambil Mut’im bin Adiy yang kafir untuk menjamin keselamatannya. Namun
partisipasi Rasulullah ini bukan tanpa batas. Selama semua sistem buatan
manusia itu tidak merangsek pagar halaman Islam, Rasulullah memanfaatkannya.
Keempat,
orisinalitas bahasa Arab. Mengapa bahasa Arab yang dipilih Allah? padahal saat
itu ia adalah bahasa yang paling sedikit digunakan dibanding bahasa-bahasa
besar dunia, seperti latin, atau Persia, atau Cina, atau India. Karena
Allah-lah yang Maha Tahu bahwa d sana ada landasan kokoh untuk menampung
bangunan keilmuan masa depan, bahkan akan dipakai hingga hari kiamat dan di
akhirat nanti.
Bahasa
Arab mempunyai daya kalimat yang sangat tinggi, sehingga ia terungkap dalam
beberapa kata namun berarti beberapa jilid buku. Ia memiliki probabilitas
penggunaan kalimat sangat luas. Misal, ada 500 kata untuk menamai ‘singa’, 1000
kata untuk ‘pedang’, atau 4000 kata untuk ‘cerdas’. Dengan kekokohan bahasa
ini, Qur’an menjelaskan seluruh persoalan hidup manusia dengan kosa kata yang
tepat, sangat singkat, tapi akan pernah habis tinta samudera menulis
makna-maknanya.
Dan
penduduk Mekkah-lah pengguna terkuat bahasa Arab saat itu. Sehingga orang-orang
kafir Quraisy sangat hati-hati untuk tidak mendengar Qur’an. Karena mereka
faham mukjizatnya, mereka tidak akan mampu menahan hatinya agar tidak melayang
saat mendengarnya. Karena bahasa Arab, mereka paham, bahkan mereka yakin bahwa
Qur’an itu bukan karya manusia. Seribu penyair mereka pun tidak mampu menjawab
tantangan Qur’an untuk membuat semisalnya.
Kelima,
dakwah kepada yang terdekat. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan keyakinan,
bukan ras dan daerah. Penduduk bumi telah lupa bahwa hidup punya pencipta.
Semuanya lupa dan melupakan, kecuali penduduk Mekkah. Mereka sadar itu, karena
”jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Niscaya
mereka menjawab, Allah, jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan” [az-Zukhr:
87].
Jika
aqidah itu terbagi menjadi tiga, yaitu yakin dengan pencipta [tauhid rububiyah],
hanya menyembah pencipta yang satu [tauhid Uluhiyah] dan yakin dengan
kesempurnaan sifat pencipta [tauhid asma wa shifat], maka masyarakat Mekkah
masih mempunyai yang pertama. Itulah sebabnya mereka lebih diprioritaskan untuk
didakwahi, karena hati mereka lebih mungkin menerima kebenaran Islam dibanding
masyarakat ateis.
Yang
menjadi masalah adalah pemahamannya. Saat mereka tidak beribadah kepada Allah,
tapi kepada berhala, kepada materi, kepada dunia, sembari berkata, “kami tidak
menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya” [az-Zumar: 3].
Keenam
hingga kesepuluh: adalah karakter bawaan mereka. Karakter paling dasar penduduk
Mekkah adalah jujur, dermawan, pemberani, harga diri, dan sabar. Karakter-karakter
itu adalah hasil didikan lingkungan dan tradisi mereka. Sehingga saat Abu
Sufyan yang masih kafir ditanya Heraklius tentang pribadi Muhammad, harga
dirinya melarangnya berbohong. Ia malah menjadi juru bicara penyampai risalah
Islam, hingga ia berkata, “demi Allah, kalau saja aku berbohong, orang-orang
tidak akan lagi menganggapku”.
Penduduk
Mekkah tidak pernah menghitung untung rugi demi menjamu tamu, atau mendukung
pemikiran yang mereka yakini dengan mengorbankan seluruh emas, rumah, bahkan
recehan terkecil. Lelaki mereka tidak sudi mati di atas permadani, dan
berbangga jika bersakit luka dalam perang. Bahkan hingga kematian menjemput,
mereka tetap bersyair atas kebanggaan akan mati di sana. Mereka tidak menerima
hidup dalam kehinaan. Jika harga diri salah seorang dari suku mereka terkoyak,
puluhan tahun peperangan pun siap dikobarkan demi membelanya. Dan mereka adalah
manusia-manusia yang paling tahan terhadap ujian hidup. Mereka sabar saat
fakir, lapar, sakit dan penantian. Alam mereka menuntut mereka untuk tumbuh
seperti itu. Walau terkadang karakter-karakter bawaan itu terjun ke jurang
kehancuran. Saat dermawan menjadi boros, berani menjadi beringas dan ceroboh,
harga diri menjadi sombong, dan sabar menjadi lamban.
Tapi
saat Islam mewarnai jiwa mereka, terciptalah kesempurnaan antara ambivalensi
sifat itu dengan arahan-arahan yang moderat. Sehingga muncullah
pahlawan-pahlawan seperti dalam mitos. Abu Bakar dan Utsman yang berkali-kali
kaya dari bisnisnya lalu berkali-kali memulai lagi dari nol setelah mereka
berinfak. Atau Khalid yang lantang menantang Kisra Persia, “anda sedang
menghadapi pasukan yang sangat mencintai kematian seperti anda mencintai
hidup”, tapi ia tetap rasional dalam berstrategi seperti dalam perang Mu’tah.
Atau seperti harga diri Rasul dan sahabat di Madinah yang menggelar Fathu
Makkah, karena kafir Quraisy menodai perjanjian Hudaibiyah. Dan kesabaran
mereka teruji sejak masa penindasan pembesar Quraisy hingga perang Ahzab.
Semua
karakter alami Mekkah ini mengajarkan kaidah-kaidah membangun umat Islam saat
ini dan masa depan. Bahwa umat harus menjaga orisinalitas sumber agamanya
[Qur’an dan Sunnah] dari tuduhan dan penodaan; bahwa Allah-lah yang mutlak
memberikan kemenangan-kemenangan gemilang Islam walau umat dalam jumlah yang sedikit;
bahwa umat Islam boleh memanfaatkan sistem-sistem sosial-politik buatan manusia
yang ada selama tidak menyentuh batas aqidah dan syariah; bahwa generasi
pemegang kendali kepemimpinan masa depan adalah generasi yang menguasai bahasa
Arab sehingga mereka memahami inti Islam dan menancapkan pemahaman itu hingga
ke setiap pori-pori jasadnya untuk bergerak; bahwa dakwah dimulai dari yang
terdekat dengan fikrah Islam; bahwa generasi baru Islam tidak akan bangkit
kecuali kejujuran, keberanian, pengorbanan, harga diri, dan kesabaran tertancap
kuat dan menjadi karakter dasar hidup mereka. Inilah sepuluh hikmah
kesederhanaan Mekkah yang menjadi kekuatan Islam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com