RUTINITAS
keseharian kadangkala membuat sebagian dari kita menjadi terhadap
pentingnya menuntut ilmu. Hari demi hari pun dilalui tanpa adanya
peningkatan kualitas ilmu. Akhirnya, banyak di antara umat Islam yang
tingkah lakunya tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam.
Pada saat yang sama umat Islam harus berhadapan dengan gelombang jahiliyah modern, yang menjadikan kebanyakan umat Islam kian jauh dari ajaran agamanya. Bahkan ada (karena ilmunya yang sangat minim) yang enjoy saja meninggalkan sholat. Tak nampak sedikit pun rasa gelisah apalagi merasa salah dan berdosa.
Pada saat yang sama umat Islam harus berhadapan dengan gelombang jahiliyah modern, yang menjadikan kebanyakan umat Islam kian jauh dari ajaran agamanya. Bahkan ada (karena ilmunya yang sangat minim) yang enjoy saja meninggalkan sholat. Tak nampak sedikit pun rasa gelisah apalagi merasa salah dan berdosa.
Hal
ini tentu bukan perkara remeh, justru sangat serius. Sebab sholat
merupakan rukun Islam yang menjadi pilar utama tegaknya keimanan dalam
diri seorang Muslim. Dalam hadis disebutkan bahwa sholat adalah tiang
agama. Siapa yang tidak mendirikan sholat maka ia telah merobohkan
agama.
Belum lagi fenomena generasi muda yang kini boleh dikatakan cukup asing dengan al-Qur’an. Jangankan memahami kandungan al-Qur’an, membacanya pun jarang bahkan ada yang tidak bisa membaca al-Qur’an.
Belum lagi fenomena generasi muda yang kini boleh dikatakan cukup asing dengan al-Qur’an. Jangankan memahami kandungan al-Qur’an, membacanya pun jarang bahkan ada yang tidak bisa membaca al-Qur’an.
Hal
inilah yang menjadikan mayoritas umat Islam terseret dalam arus
materialisme-kapitalisme. Pergaulan bebas merajalela, kemaksiatan tak
terkendali, dan tipu-menipu membudaya. Sampai akhirnya sampailah mereka
pada kesimpulan sesat dengan mengatakan, “Mencari yang haram saja susah
apalagi yang halal.” Mengapa pikiran itu tidak kita rubah dengan
mengatakan, “Lebih baik mencari sedikit asal halal dan berkah.”
Ada
pula pemahaman agak menyesatkan yang menjadi penyakit banyak orang.
Sering di antara kita mengatakan, “Saya ini orang awam, tidak paham
agama.” Atau “Saya bukan mahasiswa IAIN dan lulusan pesantren. Jadi
biarlah ini diurusi anak IAIN.”
Pernyataanya, sejak kapan kita menjadi Muslim? Jika kita menjadi muslim baru satu-dua tahun, layaknya para muallaf (orang yang baru memeluk Islam), maka, istilah awam menjadi benar.
Sebaliknya
sangat ironis, kita telah Islam semenjak lahir. Tetapi hingga usia
kita di atas 30 tahun, kita masih juga menyebut diri awam (maaf, bodoh, red). Jadilah kita menjadi awam seumur hidup.
Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Bagaimana banyak orang berbanggga menjadi awam terhadap agamanya sendiri.
Dalam
pengertian Islam, istilah awam yang benar, seharusnya seorang Muslim
sudah mengerti dasar-dasar dan hukum agama. Namun dalam pengertian
masyarakat saat ini, awam yang dimaksud adalah jahil, di mana ia justru
tidak mengerti sama sekali hukum-hukum agamanya sendiri dan tidak ada
usaha dan keinginan untuk belajar menuju lebih baik agar lebih mengerti.
Yang terakhir inilah yang banyak kita dapati.
Mereka
menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, tetapi
bisa karena ia tak mau dan tak ada usaha untuk mempelajari agamanya
secara sungguh-sungguh. Selain itu juga karena mereka tidak memahami
konsepsi ilmu dalam Islam.
Pemahaman
sesat seperti itu adalah dampak dari kurangnya kepedulian umat Islam
terhadap ilmu, sehingga iman terpenjara oleh kepentingan nafsu. Seorang
Muslim yang imannya terpenjara oleh hawa nafsunya, maka akal dan
pikirannya akan mendorong dia semakin jauh dari keberkahan hidup dunia
dan akhirat. Dan itulah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala).
Imam Al- Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan masalah-masalah aqidah dan ibadah wajib, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu yang wajib dipelajari). Ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban sebagai orang Islam (individu). Contohnya mempelajari ilmu wajib, sunnah, makruh, mubah dan subhat dan hal-hal berkaitan dengan syariat Islam adalah wajib.
Sedang ilmu yang fardhu kifâyah dibebankan
sebagai kewajiban kelompok. Ilmu seperti ini contohnya ilmu
kedokteran, ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lain yang berkembang di
masyarakat. Jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, maka
gugurlah kewajiban sebagian kaum Muslimin lainnya.
Shalat yang benar, mengerti halal dan haram, benar dalam thaharah adalah kewajiban setiap orang Muslim.
Dengan
ilmu seorang Muslim bisa mengenal Allah dengan benar. Dan, tanpa ilmu
seorang Muslim bisa terseret pada bujuk rayu syetan. Oleh karena itu,
ilmu adalah perkara pokok yang wajib bagi setiap Muslim.
Seorang Muslim, menurut Fakhruddin al-Razi (544 – 606 H), wajib memiliki ilmu sebelum memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. 47: 19).
Coba
perhatikan ayat di atas, perintah berilmu (mengenal ketauhidan Allah
dalam bahasa Al-Razi) Allah dahulukan daripada perintah memohon ampunan.
Hal ini menunjukkan bahwa, seorang Muslim hanya akan mampu taat,
tunduk, dan patuh kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala manakala ia benar-benar mengetahui dengan sebenar-benarnya siapa Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Seperti
yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, pertama yang diminta olehnya
kepada Allah adalah ilmu baru kemudian kesholehan.
(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.” (QS. 26: 83).
Hikmah
menurut Al-Razi adalah kesempurnaan pemahaman akan hakikat segala
sesuatu. Jadi, nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dikuatkan
kesempurnaan ilmu yang dimiliki, dan diberikan kekuatan untuk mampu
mengamalkan ilmu tersebut, sebagaimana hamba-hamba Allah yang sholeh.
Dua ayat tersebut, cukup menjadi bukti bahwa menuntut ilmu (mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala secara
haq) adalah hal yang utama. Dengan demikian maka, setiap Muslim
hendaknya setiap hari berupaya mempertajam keimanannya dengan berusaha
secara serius mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala dengan benar.
Di mana Menuntut Ilmu?
Secara
umum, menuntut ilmu itu bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja.
Tentu menuntut ilmu yang paling baik adalah ketika kita berusaha
memahami, menggali, mengkaji, meneliti kandungan-kandungan firman-Nya di
dalam al-Qur’an.
Atau bisa juga dilakukan dengan cara mengamalkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa-ta'ala.Tentang
sabar misalnya, maka praktikkan saja sabar itu, walau berat terasa.
Sebab dengan cara mengamalkan itulah kita akan sampai pada satu
pemahaman haqqul yakin bahwa sabar itu memang bermanfaat besar bagi
kehidupan kita.
Perilaku
kita harus berbeda dengan para orientalis. Di mana mereka mengkaji
al-Qur’an dan Hadits namun tidak pernah mengimaninya. Hanya menjadi
obyek penelitian semata.
Karenanya,
siapapun seorang Muslim yang banyak mengerti tentang Islam namun tidak
atau jarang mengamalkannya, maka dia juga tidak akan sampai pada
kenikmatan menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya.
Budayakan Menuntut Ilmu
Budayakan Menuntut Ilmu
Sungguh
kita tidak boleh lengah terhadap pentingnya ilmu. Imam Ghazali
menyatakan secara tegas bahwa jika ada seorang Muslim yang selama tiga
hari tidak mengisi hatinya dengan ilmu, maka ia akan menjadi bangkai
berjalan. Ini menjadi bukti nyata bahwa ilmu benar-benar perkara utama.
Bagaimana kita membudayakan menuntut ilmu? Bisa dengan cara menghadiri majlis taklim, pengajian, majelis-majelis ilmu atau sengaja sungguh-sungguh kembali belajar al-Quran dan isi kandungannya, tafsirnya, dan hukum-hukum Islam secara teratur agar bisa mengamalkannya?
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Menuntut ilmu wajib setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Bagaimana kita membudayakan menuntut ilmu? Bisa dengan cara menghadiri majlis taklim, pengajian, majelis-majelis ilmu atau sengaja sungguh-sungguh kembali belajar al-Quran dan isi kandungannya, tafsirnya, dan hukum-hukum Islam secara teratur agar bisa mengamalkannya?
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Menuntut ilmu wajib setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hadits lain Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi Muslim dan Muslimah mulai dari dalam kandungan hingga liang lahat.” (HR. Bukhari).
Tentu pengertiannya tak terbatas dengan umur kita saat ini. Kapanpun ada kesempatan, kita wajib meraihnya.
Ilmu yang dimaksud Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
dalam hadits ini adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah
yang Allah wajibkan kepada setiap hambanya yang Muslim. Setiap muslim
wajib mempelajari ilmu tersebut; karena sah atau tidaknya ibadah yang
dilakukannya tergantung dengan pengetahuannya. Jangan sampai ketika usia
kita sudah di atas 35 tahun dan telah memiliki banyak keturunan, kita
masih tidak mengerti hal-hal dasar dan hukum-hukum dalam agama kita
sendiri. Apalagi tetap bangga mengaku “awam”. Wallahu a’lam bish-shawab.*/Imam Nawawi
Sumber : www.hidayatullah.com