Sejenak
mari renungkan tugas kependidikan kita sebagai orangtua. Sudahkah pendidikan
kita untuk buah hati sesuai dengan konsep Islam atau justru sebaliknya. Tentu
memungut konsep dari luar Islam tidak salah. Tetapi jika itu bertentangan
dengan Islam, seharusnya dengan lapang dada kita segera mengeliminisasinya.
Sebelum
popular istilah parenting dengan berbagai metodenya, Islam sudah memberikan
panduan lengkap dan aplikatif soal pendidikan dan pengasuhan anak. “Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan
keluargamu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan segala yang
diperintahkan-Nya” (At-Tahrim: 6).
Rasulullah
seakan mengkonfirmasi ayat di atas, “Barangsiapa
memiliki dua anak dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menjadi sebab
orangtua masuk surga” (Bukhari). Dan jika jeli membuka khazanah Islam, kita
juga akan menemukan kitab-kitab karya ulama Islam yang mengurai soal parenting.
Teori-teorinya tidak kalah canggih, bersandar pada dalil-dalil yang
accountable, dan sudah terbukti kebenarannya.
Islam
memang sangat lengkap memberikan tuntunan pendidikan anak. Sejak memilih
pasangan, saat anak dalam kandungan, usia balita, remaja, dan seterusnya.
Tetapi konsep-konsep parenting yang belakangan marak kerap membuat banyak
orangtua tergoda. Sepintas lalu memang tampak indah dan mempesona. Tetapi
cermatilah dengan saksama, konsep racikan bumbu ala Barat itu sungguh mengidap
banyak masalah. Tidak heran, canggihnya konsep pendidikan seakan berpacu dengan
kebobrokan moralitas anak bangsa hari ini.
Data
berikut membuat kita tercengang. Riset Divisi Anak dan Remaja Yayasan Kita dan
Buah Hati pada Januari hingga September 2012 menyebutkan, 84% dari 1.199 murid
SD pernah melihat film porno. Medianya adalah internet (21%), film atau VCD
(14%), komik (13%), iklan (8%), sinetron (5%), dan sisanya dari HP. Facebook,
Twitter, YouTube, dan Google juga tidak pernah steril dari muatan pornografi.
Data Komnas Perlindungan Anak juga menyebutkan, kasus tawuran pelajar sudah
meningkat sejak enam bulan pertama pada 2012. Bayangkan, sejak Januari sampai
Juni 2012, sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sementara pada
2011, ada 339 kasus tawuran. Jumlah anak perokok di bawah 10 tahun antara 2008
hingga 2012 mencapai 239.000 orang. Sementara yang berusia 10 hingga 14 tahun,
ada 1.2 juta orang (Majalah Karima, Desember 2012).
Banyak
konsep pendidikan Barat yang memang salah kaprah. Misalnya, jargon pendidikan
berbasis HAM dan anti kekerasan. Dengan dalih HAM dan kebebasan, mereka
mengharamkan hukuman dengan kekerasan. Hukuman fisik ke anak dalam rangka
pendidikan disamakan dengan kekerasan ke sesama orang dewasa atau preman.
Hukuman fisik berarti KDRT, dan pelakunya harus dipidanakan. Maka kerap kita
lihat guru atau orangtua yang harus berurusan dengan hukum dan kepolisian
gara-gara menerapkan hukuman, yang dianggap melanggar HAM dan kebebasan anak.
Islam
tidak pernah melegalkan kekerasan. Tetapi, pukulan tidak menyakiti yang
diberikan untuk mendidik jelas absah dilakukan. Semua gamblang dijelaskan,
seperti sebagai alternatif terakhir hukuman, tidak mengarah ke wajah, tidak
disertai emosi dan kebencian. Simak sabda Rasulullah, “Ajarilah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka (jika tidak mau shalat) ketika berumur sepuluh tahun” (Abu
Dawud).
Tujuh
tahun adalah masa pelatihan, karena anak umumnya belum masuk usia baligh.
Ketegasan mutlak dibutuhkan ketika anak sudah mencapai usia baligh, rata-rata
usia 10 tahun. Paksaan? Semua ibadah mulanya memang butuh paksaan. Baru ketika
anak memiliki kesadaran matang, ibadah akan menjadi kebutuhan, seperti makanan
dan minuman. Rasulullah sendiri biasa menggantungkan cambuk di dinding rumah.
Dalam hadits yang dihasankan oleh Nashiruddin Al-Albani, “Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota
keluarga. Sungguh itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” (Shahihul Jami).
Salah
kaprah lain yaitu peniadaan perintah dan larangan dalam pendidikan. Ini
bertolak belakang dengan konsep Islam. Luqman adalah pribadi sukses di bidang
pendidikan. Ia dikaruniai ilmu dan kebenaran. Tutur katanya mengandung hikmah
dan menginspirasi banyak orang, sehingga namanya diabadikan Allah dalam
al-Quran. “Dan sungguh telah Kami berikan
hikmah kepada Luqman” (Luqman: 12).
Simak
dawuh Luqman kepada anaknya. “Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran
kepadanya, Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sungguh menyekutukan
Allah itu benar-benar kezhaliman besar” (Luqman: 13). Selanjutnya, Luqman
bertutur, “Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari
perbuatan mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh yang
demikian termasuk hal-hal yang diwajibkan. Dan janganlah kamu palingkan mukamu
dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri” (Luqman: 17-18).
Bukankah
dalam ucapan Luqman itu terdapat perintah dan larangan? Allah bahkan berulang
kali memerintah dan melarang kita. Yang taat perintah dijanjikan pahala, yang
melanggar larangan diancam siksa. Gamblanglah perbedaan antara konsep Barat dan
Islam. Dalam istilah Hamim Thohari, prinsip Barat cenderung “serba boleh”
sementara Islam “bebas bertanggung jawab”. Barat mengedepankan “hak” sedangkan
Islam menekankan “kewajiban”.
Juga
salah kaprah saat orangtua merasa puas dengan hanya menitipkan anak ke sekolah.
Dengan enteng mereka bilang, “Orang rusak seperti saya juga ingin punya anak
yang baik”. Menggelikan. Surah At-Tahrim ayat 6 di atas tegas menyatakan,
sebelum menyelamatkan anak, orangtua harus selamat terlebih dahulu. Singkatnya,
mendidik anak harus dimulai dari mendidik diri. Kalimat bagus dari Imam Syafi’i
patut dicamkan, “Perbaikilah dirimu sebelum memperbaiki mereka, karena mata
mereka terikat padamu. Apa yang kamu lakukan, mereka anggap baik, apa yang kamu
tinggalkan, mereka anggap tidak baik”. Inilah tarbiyah bil hal, pendidikan
dengan teladan.
Salah
kaprah yang lebih fatal adalah ketika pola pikir anak hanya disetting bahwa
belajar semata untuk ilmu. Proses belajar tidak didasari iman. Lihatlah
bagaimana kebanyakan orangtua yang gelisah ketika anaknya tidak bisa
Matematika, IPA, atau ilmu bahasa. Dicarilah kursus-kursus untuk mengatasinya.
Membaca Al-Quran dan ibadah bukan fokus perhatian utama. Yang penting, anak
juara Matematika, IPA, dan bahasa. Soal Al-Quran dan ibadah, itu pekerjaan
mereka yang sekolah jurusan agama.
Beberapa
salah kaprah ini harus segera disadari. Bertambahnya ilmu harus otomatis
menambah iman. Kecintaan terhadap ilmu harus melahirkan kecintaan terhadap
agama. Bukan sebaliknya, justru semakin menjauhkan manusia dari Allah.
Penulis : M. Husnaini
Penulis : M. Husnaini