A. PENGERTIAN IKHTILAF
Ikhtilaf adalah lawan dari
ittifaq / kesepakatan. Dalam kamus Lisanul Arab : Ikhtalafa al-amr in lam
yattafiqa – sesuatu disebut ikhtilaf ketika belum bisa bersatu/bersepakat.
Setiap yang tidak sama bisa juga disebut dengan ikhtilaf (perbedaan). Sedangkan
khilaf mempunyai makna lain, yaitu : berlawanan / berkebalikan, artinya lebih
khusus dari sekedar berbeda.
Ikhtilaf bagi para ulama juga
dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu perbedaan. Sebagian ulama membedakan
antara ikhtilaf dan khilaf dengan perincian yang lebih khusus.
B. HAKEKAT IKHTILAF
Sebuah perbedaan, apapun
bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau
keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan
oleh Allah SWT atas makhluknya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119)
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119)
Namun, perbedaan sebagai sebuah
sunnah kauniyah bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha
menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan
menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua
diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja
mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan
secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari
sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).
C. PEMBAGIAN IKHTILAF
Al-Ikhtilaf terbagi menjadi dua,
yaitu terpuji (mahmud) dan tercela. (madzmum).
Ikhtilaf disebut terpuji jika
merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari kebenaran dan memenuhi
syarat dan adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut keliru. Dari Amr bin
Ash Rasulullah SAW bersabda :
" Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia
berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu
berijtihadi kemudian salah, maka baginya satu pahala " (HR Bukhori dan
Muslim)
Ikhtilaf yang terpuji ini
sebagaimana perbedaan yang ada di antara para shahabat dalam masalah fiqh yang
cabang. Contoh : hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam
satu majlis, beberapa masalah riba, dst. Begitu pula perbedaan yang ada di
antara imam madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka
perbedaan yang terpuji ini justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi
umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf yang
tercela, adalah hasil ijtihad yang keliru karena bukan berlandaskan pada
kebenaran, tetapi permusuhan, nafsu, fanatisme dan sikap tercela lainnya. Maka
kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya
sudah final. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru palsu untuk menguatkan
pendapatnya. Ikhtilaf dalam bentuk yang tercela adalah sebagaimana ikhtilaf
yang muncul dari faham-faham tertentu seperti : Syiah, khowariz, mu'tazilah dan
sebagainya.
D. SEBAB –SEBAB IKHTILAF YANG
TERCELA
Ikhtilaf yang tercela disebabkan
oleh banyak hal, antara lain:
1. Al-Baghi ( Pembangkangan)
Ini adalah sebab paling banyak
dari ikhtilaf yang tercela, dimana sejarah islam banyak mencatat perbedaan-perbedaan
yang berasal dari pembangkangan, dan pembelaan kepentingannya. Seperti :
Khowarij, Syiah Rofidhoh dan seterusnya.
2. Al-Ghurur Bi an-Nafsi ( Tertipu oleh dirinya
sendiri)
Adalah merasa takjub dengan
pendapatnya sendiri, merasa sombong dan meremehkan pendapat orang lain. Maka ia
tetap pada pendapatnya sendiri meskipun jelas keliru, tanpa mau mendengarkan
pendapat dan pertimbangan dari pihak lain.
3. Berburuk sangka pada yang lain (suudzhan bil
akhorin )
Yaitu melihat kepada yang lain dengan
cara pandang negatif, menuduh pemahaman orang lain cacat, amal-amal orang lain
salah, tujuan-tujuan orang lain adalah buruk. Maka mereka ini senantiasa
menuduh dan menjelek-jelekkan orang lain, baik dengan perkataan dan juga dengan
perbuatan.
4. Suka tebar pesona dan berdebat ( Hubbu adzdzuhur
wal jidal)
Yang senantiasa menjadi sebab
sifat ini adalah dorongan hawa nafsu semata. Maka ia berbeda pendapat hanya
karena menginginkan popularitas, pengakuan dan penghargaan dari yang lainnya.
Begitu pula mereka berbeda pendapat karena memang menyukai perdebatan panjang,
pada hal-hal yang semestinya tidak prioritas.
5. Fanatik dengan pendapat seseorang atau madzhab
tertentu
Ini ada sejak jaman dulu hingga
kini. Bahkan hingga mengorbankan nyawa atau darah sekalipun. Ibnu Taimiyah
mengatakan : " Barang siapa yang bertaashob kepada salah satu dari para
imam madzhab tanpa yang lainnya, maka ia bagaikan bertaashob pada salah seorang
sahabat tanpa yang lainnya". Contoh dalam masalah ini seperti Syiah dengan
fanatisme terhadap para imamnya.
6. Faktor-faktor dari luar
Para musuh-musuh Islam dari
Yahudi dan Nasrani sangat mengetahui persis bahwa kekuatan umat Islam adalah
pada persatuannya. Maka langkah pertama yang ia ambil dalam rangka menguasai
negri muslim adalah dengan memecah belah kaum muslimin di daerah tersebut. Maka
merekapun mempelajari hal-hal dalam ajaran Islam yang bisa djadikan sebab
perpecahan, kemudian menambah-nambahi, menghias, memperbesar dan memperuncing
perbedaan yang semestinya sederhana dan wajar.
D. SEBAB PERBEDAAN DALAM FIKIH
Perbedaan dalam fikh yang cabang
termasuk dalam perbedaan yang terpuji, dan hal tersebut disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya sebagai berikut :
1. Perbedaan pada kecenderungan dan tabiat manusia,
serta tingkat pemahaman akal yang berbeda.
Ibnul Qayyim mengatakan : "
terjadinya perbedaan diantara manusia adalah hal yang sangat pantas dan harus
terjadi, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman dan kekuatan logikanya
". Contoh riilnya apa yang terjadi pada Sahabat Umar ra dan Abu Bakar pada
kebijakan tawanan perang Badr. Umar yang cenderung keras dan tegas berpendapat
untuk membunuh tawanan perang tersebut, sedang Abu Bakar yang dikenal dengan
kelembutannya cenderung membolehkan tawanan tersebut dibebaskan dengan tebusan.
Termasuk dalam pembahasan ini
adalah perbedaan yang mungkin terjadi karena lupa (nisyan). Dalam sejarah
az-Zubair pernah diingatkan Ali pada sabda Rasulullah SAW yang berpesan untuk
tidak memusuhi Ali. Maka setelah itu Zubair pun teringat dan mundur dari
peperangannya melawan kubu Ali ra.
2. Perbedaan manusia dalam Ilmu dan pengetahuan
Secara umum bisa digambarkan
bahwa perbedaan tersebut terjadi karena satu dari tiga hal. Pertama, perbedaan
penilaian kuat lemahnya sebuah hadits. Kedua, perbedaan makna atas sebuah
lafadz dalam hadits, dan yang ketiga : Perbedaan menilai apakah hadits tersebut
masih berlaku atau sudah dihapus.
Secara khusus perbedaan tersebut terjadi
karena hal-hal seperti di bawah ini :
1. Perbedaan
karena tidak sampainya dalil (nash) pada salah satu pihak.
Ada kalanya ada sebuah nash yang
tidak sampai pada salah satu pihak, maka ia beramal dengan dalil lain, baik
berupa dhohir ayat, hadits maupun qiyas dan istishhab. Ibnu Taimiyah mengatakan
: "sebab ini adalah yang paling banyak menjadikan perbedaan diantara para
salaf, karena menguasai seluruh hadits Nabi SAW itu tidak akan dapat dilakukan
oleh seorangpun dari umat ini "
Contoh riilnya adalah Abu Bakar
ra yang sempat menghukumi bahwa tidak ada jatah warisan bagi nenek, kemudian
setelah mendapat hadits lain dari Mughiroh maka kemudian ia menetapkan jatah
seperenam bagi nenek dalam masalah warisan.
2. Perbedaan
karena salah satu pihak tidak mengetahui bahwa dalil yang diyakininya telah
dihapus / (mansukh) dengan dalil lain. Contoh yang paling jelas dalam masalah
ini adalah tentang nikah mut'ah , riba nisa' dan juga akad muzaro'ah dan
sejenisnya.
3. Perbedaan
dalam menilai kuat tidaknya suatu hadits. Maka yang menganggap kuat akan
beramal dengannya, sementara yang menganggap lemah akan beramal dengan hadits
lain yang berbeda maknanya. Contoh dalam masalah ini banyak tersebar dalam
kitab fikih.
4. Perbedaan
dalam memahami lafadz sebuah dalil . Sebagian besar perbedaan yang ada terjadi
karena dua sebab utama. Pertama, karena memang ada lafadz yang dianggap asing
(gharib) sehingga pemaknaannya pun berbeda. Seperti : Muzabanah, Muhaqolah dan
Munabadzah dalam fiqh muamalat. Atau Kedua, karena satu pihak memaknai secara
mutlak (hakekatnya) dan ada yang memaknainya secara kias (majazi). Contoh dalam
masalah ini , kata 'al-lams' yang membatalkan wudhu. Ada yang mengartikan
hakikatnya yaitu menyentuh (kulit) sudah membatalkan. Ada pula yang mengkiaskan
dengan bersetubuh (jimak), sehingga menyentuh tidak membatalkan. Begitu pula
dalam masalah penetapan awal ramadhan dengan rukyah. Lafadz rukyah dalam hadits
ada yang diartikan melihat dengan mata kepala, dan ada yang memaknai melihat
dengan banyak cara, seperti hisab.
5. Perbedaan
dalam menentukan posisi / kedudukan makna sebuah dalil. Yaitu berbeda dalam
masalah lafadz 'aam (umum ) atau khos (khusus), mutlak atau taqyiid (terikat)
dst. Contoh seperti larangan dalam isbal (memanjangkan celana hingga melebihi
mata kaki ), ada yang menyatakan mutlak : bahwa adalah haram jika celana
melebihi mata kaki, dan ada pula yang mensyaratkan keharaman isbal jika diikuti
dengan perasaan sombong.
6. Salah satu
pihak meyakini ada dalil lain yang maknanya berlawanan dengan makna dalil yang
diyakini pihak lain. Sebagaimana perbedaan yang terjadi antara Umar bin Khatab
dan Aisyah ra. Umar ra meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
" Sesungguhnya mayit itu sungguh akan disiksa dengan tangisan
keluarganya terhadapnya " .
Maka Aisyah ra mengingkari
pendapat tersebut, karena berlawanan dengan dalil yang lebih kuat yaitu ayat
Al-Quran, dimana Allah berfirman :
" dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain."(QS al-An'am 164 )
E. ADAB DALAM IKHTILAF
1. Menyadari bahwa perbedaan
dalam hal furu' adalah sesuatu yang dharurah dan rahmat.
2. Mengikuti manhaj moderat /
pertengahan dan menghindari berlebih-lebihan dalam agama
3. Fokus pada hal-hal yang muhkamat (jelas) dari
hal yang mutasyabihat (masih rancu)
4. Menghindari pengingkaran dan
penetapan final dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang masih debatable.
5. Pentingnya
membaca perbedaan di antara ulama
6. Penentuan
dan pembatasan dalam pemahaman dan istilah.
7. Menyibukkan
diri dengan agenda umat yang lebih besar dan prioritas
8. Saling
bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati.
9. Saling bertoleransi dan memahami dalam
hal-hal yang masih berbeda dan belum bisa disepakati.