Tema Fiqh Yang “Kurang Beruntung”
Ada beberapa tema dalam fiqh Islam yang sangat
penting tetapi relatif kurang dibahas secara ekstensif oleh para ulama dalam
satu atau dua abad terakhir. Beberapa tema itu diantaranya adalah: Fiqh
Siyasah (Fiqh Politik) dan Fiqh Jinayah (Fiqh Pidana dan Hukum
Islam, jarimah dan uqubat). Bukannya tidak dibahas sama sekali. Kita tetap
masih bisa mendapatkan kitab-kitab yang ditulis dalam tema ini di kurun waktu
tersebut, hanya saja secara perbandingan relatif, tema ini tidak seluas pembahasan
bab-bab lain dalam ilmu fiqh seperti dalam fiqh ibadah dan sebagainya.
Beberapa contoh kitab-kitab dalam bidang politik
yang ditulis oleh para ulama diantaranya: “Al Fardlu wa Al Dawlah fi Al
Syariah Al Islamiyah” karya Syaikh Abdul Karim Zaidan; “Al Islam wa
Adhauna Al Siyasiyah” karya Syaikh Abdul Qadir Audah; “Al Siyasah As
Syariyyah” karya Syaikh Abdul Wahhab Khalaf; “The Islamic Law and
Constitution” karya Syaikh Abul A’la Al Maududi; “Al Alaqah Al Dauliyah
fi Al Islam” karya Syaikh Muhammad Ahmad Abu Zahrah; “Al Islam wa
Ushulul Hukmi: Bahtsul Khilafah wal Hukumah fil Islam” karya Ali Abdul
Raziq; “Al Nadzariyah Al Siyasiyah” karya Prof. DR Dhiyauddin Arrais; “Al
Fikr As Siyasi fi Al Islam” karya M Jalal Syaraf dan Ali Abdul Muth’i
Muhamad; “Al Isytirokiyah Al Islamiyah” karya DR Musthafa As Siba’i; “The
Political Tought of Ibn Taimiyyah” karya DR Qamarudin Khan; “An-Nizhamul
Al Hukmi fi Al Islam”, “Ad Daulah Al Islamiyah” dan “Al Khilafah”
karya Syaikh Taqiyudin An-Nabhani; “Muhasabah Al Hukkam Lajnah Ad Difa’an Al
Huquq Al Syariyyah” karya Prof DR Muhamad bin Abdullah Al Masa’ari (Tokoh
Hizbut Tahrir); “Masyruah Al Qanun Wasa’il Al I’lam fi Daulah Khilafah’
karya Ziad Ghazal (Tokoh Hizbut Tahrir); “Islam wal Ilmaniyah” (Islam
dan Sekulerisme) karya Syaikh DR Yusuf Qaradhawi dan masih banyak lagi kitab
lainnya.
Adapun kitab-kitab yang membahas tema politik
Islam dari periode yang sedikit lebih klasik diantaranya: “Muqadimah”
karya Ibnu Khaldun; “Al Ahkam As Sulthaniyah wa Wilayatul Diniyah” karya
Abu Hasan Al Mawardi; “Al Ahkam As Sulthoniyah” karya Abu Ja’la Al
Hambali; “At-Thuruq Islamiyah fi Siyasah Syar’iyyah” karya Ibnu Qayyim
Al Jauziyah; “Al Imamah wa Siyasah” karya Ibnu Qutaibah; “As Siyasah
Syar’iyyah fi Ishlahi Aro’i wa Ra’iyah” karya Imam Ibnu Taimiyah; “Al
Tibr Al Masbuk fii Nashihat Al Mulk” karya Imam Al Ghazali dan sebagainya.
Kitab-kitab politik Islam karya ulama atau
penulis lokal diantaranya: “AsAs asas Hukum Tata Negara Menurut Syariah
Islam” dan “Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam” karya Prof. Hasby As
Shidiqie; “Islam dan Tata Negara. Ajaran, Sejarah dan Pemikiran” karya
DR Munawir Sadzali; “Fiqh Siyasah” karya Prof. HA Djazuli dan masih
banyak lagi.
Ini soal perbandingan relatif. Suatu tema dalam
bidang keilmuan tertentu akan terasa dinamika pembahasannya jika tema tersebut
dibahas dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli, dibahas dari sebanyak mungkin
sudut pandang dan dibahas dengan sebanyak mungkin pendekatan. Biasanya setelah
berjibaku dalam dinamika ranah akademis, perlahan tema itu akan menyebar
menjadi pengetahuan umum masyarakat dan akhirnya penerapannya dalam kehidupan
nyata akan mempengaruhi jalannya sejarah. Kita bisa lihat contoh berikut. “Trias
Politica” karangan Jean Jaques Rosseu atau “Das Kapital” karangan
Karl Marx awalnya hanya merupakan gagasan akademik biasa. Tetapi kemudian
karya-karya itu mempengaruhi jalannya sejarah manusia setelah diadopsi dalam
praktek nyata.
Karya Akademik dan Pengaruhnya dalam Sejarah
Gagasan-gagasan akademik baru atau hasil
penelitian ilmiah mutakhir – saya yakin, sebenarnya lebih banyak muncul dalam
sejarah daripada apa yang kita ketahui, tetapi tidak semuanya berpengaruh besar
dalam kehidupan nyata. Contoh sederhananya, kita bisa melihat skripsi, tesis
atau disertasi di kampus-kampus kita. Kebanyakan hanya berakhir dalam koleksi
perpustakaan universitas. Paling jauh, karya itu akan menjadi inspirasi bagi
karya-karya ilmiah selanjutnya yang bisa jadi karya selanjutnya itu pun akan
berakhir di rak perpustakaan juga. Mengenai faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi tingkat adopsi dan penerapan suatu gagasan akademik atau suatu
penemuan ilmiah sehingga diterapkan dalam kehidupan nyata, ini membutuhkan
pembahasan tersendiri yang cukup panjang. Kita akan membahasanya di lain kesempatan.
Kembali ke soal fiqh siyasah. Jika dibandingkan
antara fiqh siyasah, fiqh jinayah (uqubat, zarimah) dengan fiqh ibadah, maka
tampak bagi kita bahwa pembahasan fiqh ibadah merupakan salah satu contoh tema
yang lebih “beruntung”. Dinamika pembahasan para ulama mengenai tema ini bahkan
menjadi pendorong utama lahirnya berbagai Mazhab Fiqh. Sebagai contoh, untuk
masalah niat wudhu saja setidaknya kita bisa membaca 6 kelompok pendapat dari
barbagai ulama mazhab. Fiqh ibadah dan tema-tema turunannya seperti soal halAl
haram dalam makanan, terus digali dan berkembang sepanjang sejarah Islam.
Hampir di tiap kurun sejarah kita menemukan karya-karya ulama yang monumental
dan berpengaruh baik secara akademik maupun dalam kehidupan nyata. Bahkan dalam
masa yang disebut “zaman krisis ilmu syariah dan ijtihad” sekali pun, fiqh
ibadah tampaknya tetap bertahan dalam majelis-majelis ilmiah para ulama (walau
mungkin tak banyak ijtihad baru).
Dalam kajian ilmu fiqh saya akan menyebutkan
beberapa contoh karya-karya ulama yang bepengaruh. Saya melihat dalam lapangan
ini, kitab-kitab fiqh yang lebih cepat memberi pengaruh secara luas adalah
kitab-kitab fiqh yang ditulis dengan pendekatan muqarin (perbandingan).
Kitab fiqih muqarin dalam membahas suatu masalah senantiasa menampilkan
berbagai pendapat para ulama dari berbagai mazhab sebelum kemudian ditarjih
(ditentukan pendapat yang lebih kuat). Masuk akal bila kitab fiqh seperti ini
cepat memberi pengaruh luas karena cara ini memiliki peluang tersebar lebih luas
di dunia Islam dengan menjangkau wilayah-wilayah yang berbeda-beda mazhabnya.
Sedangkan kitab fiqh yang hanya ditulis dalam cakupan satu mazhab saja
kemungkinan besar hanya akan tersebar dan berpengaruh di wilayah penganut
mazhab yang bersangkutan saja.
Hampir semua mazhab fiqh memiliki ulama yang
menulis fiqh perbandingan. Beberapa diantaranya yang sempat saya baca ditulis
dengan sangat bagus. Bahkan seolah-olah ketika kita membacanya kita akan
menganggap bahwa argumen dan dalil yang disampaikan dalam kitab tersebut
merupakan pendapat yang paling baik. Tetapi ketika kita beralih membaca kitab
fiqh perbandingan yang ditulis oleh ulama dari mazhab lainnya kita pun merasa
bahwa pendapat-pendapat dalam mazhab tersebutlah yang paling bagus. Fiqh
perbandingan, senetral apa pun upaya yang dilakukan ulama yang menulisnya
biasanya tetap akan berupaya memenangkan mazhab yang didukungnya. Secara
pribadi saya menganggap hal seperti ini bagus dalam perjalanan intelektual
kita. Fanatisme buta itu biasanya disebabkan karena kita hanya terbiasa tahu
masalah dari satu sumber saja, atau dari satu mazhab saja. Ibarat katak dalam
tempurung, mengamuk-ngamuk dan menganggap rendah pihak yang berlainan pandangan
dengan yang kita ketahui dan fahami.
Beberapa contoh kitab fiqh perbandingan dari masa
klasik diantaranya:
·
Dari mazhab Hanafi ada kitab “Al Hujjah ‘Ala
Ahlul Madinah” karya Imam Muhamad bin Hasan Al Syaibani (wafat 189 H);
·
Dalam mazhab Hanbali ada kitab “Al Mughni”
karya Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dan kitab “Majmu’ Al Fatawa” karya
Imam Ibnu Taimiyah (wafat 729 H);
·
Dalam mazhab Syafii ada kitab “Al Majmu”
karya Imam An-Nawawi (wafat 676 H).
·
Dalam mazhab Maliki ada kitab “Bidayatul
Mujtahid” karya Imam Ibnu Rusyd (wafat 597 H).
Sebagai tambahan, kalau mau kita sebutkan, ada
juga kitab “Al Khilaf fii Al Ahkam” karya Abu Ja’far Muhamad at-Thusi
dari kalangan Syiah Imamiyah yang juga membahas fiqh dengan metode perbandingan
mazhab.
Di masa modern, kita mengenal beberapa kitab yang
cukup tenar dikalangan akademisi diantaranya kitab “Fiqh As Sunnah”
karya Syaikh Sayyid Sabiq dan kitab “Fiqhul Islam wa Adilatuhu” karya
Syaikh DR Wahbah Al Zuhaili serta beberapa yang lainnya yang juga ditulis
dengan metode muqarin (perbandingan).
Perlunya Rekonstruksi Fiqh Siyasah
Pertanyaan terpenting dari ini semua adalah,
mengapa fiqh siyasah tidak bernasib sama seperti apa yang terjadi dengan
tema-tema fiqh yang lain. Kita kurang mengenal pendapat-pendapat para ulama
dari berbagai mazhab tentang fiqh siyasah serta dinamika perbedaan-perbedaan
pendapat diantara mereka. Ataukah pengelompokan pendapat dalam bidang fiqh
siyasah tidak mengikuti pengelompokan pendapat seperti dalam mazhab fiqh
lainnya. Mirip seperti tema Kalam dalam lapangan teologi dimana pengelompokan
pendapat juga cenderung tidak mengikuti mazhab fiqh. Tetapi kalau ini yang
terjadi akan tampak aneh pula bagi kita, bukankah siyasah juga bagian dari
fiqh!? Berbeda dengan Kalam!
Sepintas, bagi kita yang awam, perbedaan
pandangan dalam fiqh siyasah kontemporer justru lebih terasa dalam
kelompok-kelompok pergerakan Islam, bukan dalam kelompok-kelompok madzhab fiqh.
Kita lebih mudah menelusuri pendapat kelompok Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul
Muslimin atau kalangan Nahdiyin dalam soal sistem politik kenegaraan daripada
menelusurinya berdasarkan pendapat-pendapat ulama mazhab. Atau contoh lain yang
lebih spesifik adalah ketika kita ingin mengetahui pendapat para ulama mengenai
pemilu (pemilihan umum). Kita rasanya akan sulit menelusuri pendapat ulama
berdasarkan kategori Mazhab Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah atau Hanafiyah
dibanding dengan menelusurinya berdasarkan kategori Ulama Salafi, Nahdiyin,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau Salafi Jihadi. Ini menarik.
Dari sini kita melihat pentingnya upaya
rekonstruksi fiqh siyasah dan menggalinya dari kitab-kitab fiqh klasik dan
kontemporer. Tema fiqh siyasah ini sebenarnya juga terselip diantara
kitab-kitab fiqh para ulama klasik, hanya saja perlu upaya untuk
merekonstruksinya kembali sehingga kita mendapatkan gambaran yang utuh. Tugas
seperti ini tentulah bukan tugas sembarang orang. Butuh para ulama yang
kompeten untuk melakukannya.
Antara Menulis dengan Pena dan Menulis Dengan Karya dan Amal
Cakupan fiqh siyasah itu cukup luas. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa persoalan siyasah mempengaruhi hampir semua urusan
dalam fiqh muamalah. Hanya saja saya meragukan semua aspek dari fiqh tersebut
(apalagi jika dihubungkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang
kemungkinan situasinya belum ditemui di masa lampau) telah dibahas secara rinci
dalam kitab-kitab klasik. Dalam hAl hal tertentu mungkin kita mendapat
pembahasan rinci tapi dalam bagian lainnya kita hanya mendapat pembahasan umum
saja. Ijtihad itu memiliki keterkaitan dengan konteks jaman dan konteks tempat.
Tetapi dalam prakteknya, keadaan dan sejarah
hidup para ulama lampau tidak bisa terlepas dari situasi politik dan
sosio-historis pada jaman mereka hidup. Maksud saya begini, jika kita tak
menemukan pembahasan rinci dari seorang ulama tentang suatu masalah politik
maka kita memiliki alternatif lain untuk memperkirakan pendapat ulama yang
bersangkutan. Contohnya: Kita ingin mengetahui pendapat Imam Ibnu Rusyd soal
hukum negara yang terpisah dari kepemimpinan umum umat Islam yang lebih luas
(Khilafah Abbasiyah, pada saat itu) serta tidak memiliki pemimpin yang bergelar
Khalifah. Sebut saja kita tak menemukan penjelasan rinci soal ini dalam karya
tulis Ibnu Rusyd atau murid-muridnya. Maka kita bisa memperkirakan pendapat
beliau dengan melihat fakta sejarah. Ibnu Rusyd hidup dan menjadi ulama di
Andalusia pada masa pemerintahan Dinasti Muwahidun. Dinasti ini bukan
kelanjutan dari Dinasti Umayah yang sebelumnya sempat tersisa di Andalusia.
Bani Umayah di Andalusia sudah tamat saat itu. Dari fakta ini kita bisa
memperkirakan pendapat Ibnu Rusyd untuk permasalahan yang kita gali. Teori
dasarnya, tak mungkin seorang ulama berprilaku secara bertentangan dengan
pendapatnya sendiri. Kalaupun tak mampu mengubah keadaan yang tidak benar
pastinya ia melakukan pengingkaran baik dengan sikap maupun perkataan.
Contoh lainnya adalah penggalian sikap Imam Ibnu
Taimiyah dalam persoalan praktek pemerintahan Daulah Mamluk yang berpusat di
Mesir. Dari sejarah kita mengetahui bahwa sistem politik yang dipraktekan oleh
Mamluk di Mesir saat itu cukup unik. Saat itu Khalifah diangkat dari keturunan
Bani Abbasiyah di sana tetapi perannya lebih kepada peran agama dan simbol
kesatuan negara. Adapun kekuasaan dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh
para Sultan Mamluk. Kira-kira bagaimana pendapat Ibnu Taimiyah soal ini, apakah
menyalahkan, mengingkari karena dianggap tak sesuai dengan sunnah,
memperbolehkan atau bagaimana? Yang jelas pada masa itu, Ibnu Taimiyah turut
serta berjuang bersama para Sultan Mamluk dalam membendung serangan Mongol yang
terus merangsek memasuki wilayah Suriah menuju Mesir.
Upaya rekonstruksi seperti ini saya pandang perlu
untuk menutupi kekurangan informasi dari sumber-sumber karya tertulis. Apabila
metode ini digabungkan dengan kajian pustaka karya ulama yang bersangkutan atau
dari sumber-sumber karya murid-muridnya, hasilnya insya Allah akan
positif terhadap perkembangan ilmu fiqh siyasah. Salah satu contoh karya dengan
pendekatannya mirip dengan yang kita dijelaskan di atas adalah buku “The
Political Thought of Ibnu Taimiyyah” sebuah karya disertasi DR Qamarudin
Khan (walaupun karya ini tampaknya lebih mengacu pada karya-karya tulis Ibnu
Taimiyah, bukan pada apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah). Kita membutuhkan
lebih banyak lagi karya-karya seperti ini.
Dengan semua upaya ini, diharapkan nasib fiqh
siyasah bisa menjadi lebih baik. Jika sudah dibahas secara lebih ekstensif oleh
para ulama kontemporer dan diuji terus-menerus dalam lapangan akademis maka
diharapkan pada gilirannya akan memberi dampak dalam praktek kehidupan nyata
untuk memecahkan persoalan-persoalan politik umat Islam sekarang dan ke depan.
Kalau tidak demikian, apa lagi peran para ulama, coba! Bukankah para Ulama
belum wafat semua?!
Muhamad Khaerul Jamal