Dalam perspektif kaum sufi, puncak pencapaian seseorang dalam
beragama adalah mahabbatullah atau cinta kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Tidak ada yang lebih tinggi dari itu.
Menurut perspektif yang lain, cinta kepada Allah Ta’ala adalah
kebergantungan hati kepada Sang Khaliq sehingga melahirkan kenyamanan di
hati saat merasa di dekat-Nya, atau perasaan gelisah manakala merasa
jauh dari-Nya.
Abdullah Nasih Ulwan, ulama terkenal dari Syria, mengatakan cinta
merupakan fitrah sekaligus anugerah dari Allah Ta’ala yang sangat besar
kepada manusia. Karena cinta itulah manusia terus berkembang dan tetap
eksis di dunia.
Dua Cinta
Ada dua bentuk cinta yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada manusia.
Pertama, cinta yang bersifat materi (duniawi), yaitu cinta terhadap apa
saja yang diingini. Dalam bahasa al-Qur`an disebut hubbusy-syahawat.
Allah Ta’ala berfirman, Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang disenangi dan diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Namun di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik. (Ali Imran [3]: 14)
Allah Ta’ala berfirman, Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang disenangi dan diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Namun di sisi Allah lah tempat kembali yang paling baik. (Ali Imran [3]: 14)
Apakah manusia dilarang mencintai hal-hal yang disebutkan dalam ayat
di atas? Tidak! Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk
mendapatkan kenikmatan hidup di dunia. Bahkan, secara tegas Allah
Ta’ala memerintahkan manusia untuk tidak melupakannya. Kenikmatan dunia
merupakan hak semua orang yang hidup di muka bumi.
Allah Ta’ala berfirman, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu kesenangan dan kebahagiaan negeri akhirat, namun
janganlah kamu melupakan bagianmu dari kesenangan dan kebahagiaan
(kenikmatan) hidup duniawi. (Al-Qashash [28]: 77)
Hanya saja, Islam mengingatkan bahwa kebahagiaan hidup di dunia itu
bersifat sementara. Kesenangan di dunia itu bersifat temporer. Sebentar
saja!
Itulah sebabnya Allah Ta’ala memberi tawaran kepada kita dalam
firman-Nya, ”Katakanlah, inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih
baik dari yang demikian itu? Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada
Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya.” (Ali Imran [3]: 15)
Itulah kebahagiaan akhirat yang abadi. Bagaimana manusia bisa
mendapatkan kebahagian di akhirat? Jawabnya, berikan cinta yang amat
mendalam kepada Allah Ta’ala. Itulah mahabbah jenis kedua yang bersifat
ukhrawi, atau disebut mahabbatul iman.
Jika perasaan cinta yang amat mendalam ini tertaman dalam diri
seseorang, maka itulah anugerah Allah Ta’ala yang sangat besar.
Bersyukurlah mereka yang telah mendapatkannya.
Allah Ta’ala berfirman, Akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah dalam hatimu, serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.
Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus; sebagai
karunia dan nikmat (yang besar) dari Allah SWT. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Hujuraat [49]: 7
Pecinta Sejati
Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) adalah tokoh yang patut diteladani
dalam ber-mahabbah kepada Allah Ta’ala. Ibrahim AS adalah orang yang
menempatkan cinta kepada Allah Ta’ala di atas semuanya. Tidak ada cinta
yang melebihi cintanya kepada Allah Ta’ala.
Ketika harus memilih antara Allah Ta’ala dengan orangtuanya, Ibrahim
AS memilih Allah Ta’ala sekalipun konsekuensinya beliau harus terusir
dari keluarganya.
Ketika diuji untuk mengorbankan hartanya, beliau tak ragu-ragu untuk
menghabiskan seluruhnya hingga tak sedikit pun yang tersisa.
Ibrahim AS juga sangat menyintai anaknya, Ismail. Akan tetapi, ketika
Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyembelihnya, lagi-lagi beliau
sanggup melaksanakannya. Cintanya kepada anaknya diletakkan di bawah
cintanya kepada Allah Ta’ala.
Keteladanan Ibrahim AS dalam mencintai Allah Ta’ala itulah yang
diperagakan ulang oleh jutaan kaum Muslim yang menjalankan ibadah haji
maupun yang melaksanakan syariat kurban. Mereka berupaya mengikuti jejak
Ibrahim AS dengan meletakkan cinta kepada Allah Ta’ala di atas
segala-galanya.
Allah Ta’ala berfirman, Katakanlah, jika bapak-bapakmu, anak-anakmu,
saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petujuk
kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah [9]: 24)
Cinta Allah, Segalanya
Allah Ta’ala tidak menuntut hamba-Nya untuk hanya mencintai-Nya dan
mengabaikan cintanya kepada yang lain. Ini karena perasaan cinta
merupakan fitrah sekaligus anugerah.
Allah Ta’ala tidak menghalang-halangi perasaan cinta kita kepada apa pun dan kepada siapa pun, asal sejalan dengan kehendak-Nya.
Cinta kita kepada isteri bukannya dilarang, bahkan diperintahkan agar
senantiasa dipelihara dan ditumbuhsuburkan. Allah Ta’ala hanya memberi
batasan jangan sampai cinta kita kepada isteri melebihi cinta kita
kepada-Nya.
Cinta kita kepada sesama Muslim juga harus tumbuh karena kecintaan
kita kepada Allah Ta’ala. Semakin dalam cinta kita kepada Allah Ta’ala,
kian besar pula rasa saling mencintai di antara saudara-saudara seiman.
Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam Hadits Qudsy, ”Pasti akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang menyambung hubungan silaturrahim karena Aku.” (Riwayat Ahmad)
Allah Ta’ala menegaskan hal ini dalam Hadits Qudsy, ”Pasti akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang menyambung hubungan silaturrahim karena Aku.” (Riwayat Ahmad)
Jadi, Allah Ta’ala hanya menuntut agar cinta kita kepada selain-Nya
tidak lebih besar dari cinta kita kepada diri-Nya. Letakkanlah cinta
kepada yang lain di bawah cinta kepada Allah Ta’ala!
Seorang yang mencintai Allah Ta’ala tentu ingin selalu dekat
dengan-Nya, merasa tentram saat menyebut nama-Nya, merasa akrab saat
meminta ampunan kepada-Nya, merasa aman saat meminta pertolongan
kepada-Nya, dan merasa nyaman saat beribadah kepada-Nya.
Jika Allah Ta’ala memanggil lewat kumadang azan, semua pekerjaan
seketika akan ia tinggalkan. Ia akan bergegas pergi ke masjid dan
melaksanakan shalat.
Ketika Allah Ta’ala memanggilnya ke Baitullah, maka dengan jerih
payah ia sisihkan uang untuk bisa berangkat memenuhi undangan-Nya.
Itulah wujud kongkrit cinta kepada Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam.
Sumber : Suara Hidayatullah, Desember 2010