oleh : Dinar Dewi Kania
(Peneliti INSISTS Jakarta)
Human are in pursuit of Knowledge
memiliki peranan yang signifikan dalam membuat pertimbangan, keputusan
dan juga tindakan pada kehidupan ilmiah. Pengkajian mendalam dan
sistematis terhadap pengetahuan, kriteria-kriteria dalam perolehannya
dengan keterbatasan-keterbatasannya serta cara menjustifikasi
pengetahuan tersebut, dikenal dengan nama “Epistemologi”.[1] Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahua (knowledge atau science)[2] dan logos
yan berarti ilmu. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas
mengenai pengetahuan sehingga epistemologi dikenal dengan nama filsafat
pengetahuan atau teori pengetahuan.
Epistemologi membahas secara mendalam segala sesuatu mengenai proses yang terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui metode keilmuwan, sehingga metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran lainnya. [3] Menurut Richard Fumerton, pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi mencakup konsep pengetahuan, bukti, alasan untuk mempercayai, justifikasi, probabilitas atau kemungkinan, apa yang bisa dipercayai dan konsep-konsep lainnya yang hanya dapat dipahami melalui satu atau beberapa hal tersebut di atas.[4] Teori pengetahuan atau epistemologi bertujuan untuk menganalisa proses bagaimana mendapatkan pengetahuan, oleh karena itu pertama-tama harus diketahui dimana proses tersebut mulai dan kapan harus berakhir.[5]
Epistemologi sebagaimana dijelaskan oleh Alparslan, terjadi melalui tiga kerangka pikir (mental frameworks); pertama terbentuknya pandangan alam (worldview) dari para ilmuwan. Worldview merupakan kerangka berpikir umum (general framework) yang merupakan lingkungan konseptual (conceptual environment) dimana tiap-tiap aktivitas ilmiah tumbuh. Kedua adalah scientific conceptual scheme atau disebut konteks (context) ilmu, dan yang ketiga merupakan technical vocabularies atau perbendarahaan kata teknis dan pandangan (outlook) dari jaringan konsep-konsep dalam keilmuan yang spesifik.[6]
Lebih jauh dijelaskan bahwa ada beberapa kondisi dalam level sosial
dengan segala aspeksnya untuk kebangkitan dari pembelajaran (learning) dalam suatu lingkungan social (given society).
Karena kondisi-kondisi ini menjadi penyebab dari munculnya
pembelajaran dalam lingkungan sosial tertentu dan cultural context,
atau dapat disebut contextual causes dari munculnya sains. Contextual causes pertama membawa kepada pre-scientific tradition dan intelektual apabila lingkungan sosial mampu menyediakan pondasi yang sesuai bagi pengembangan worldview yang berperan sebagai pondasi konseptual bagi kemunculan sains.[7]
Epistemologi
Syed Muhammad Naquib al-Attas dibangun atas tradisi intelektual Islam
yang berkaitan erat dengan psikologi jiwa manusia (the psychology of human soul)
karena peroleh ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan konsep spiritual
yang tidak terlepas dari hidayah Allah Swt. Epistemologi Islam sangat
berbeda dengan epistemologi Barat yang memandang aktivitas intelektual
independen dari hal-hal yang bersifat metafisik. Sebagai contoh,
epistemologi kaum empiris yang mendominasi cakrawala manusia Barat di
dunia modern telah berhasil mereduksi realitas menjadi semata-mata
dunia yang dialami oleh indera eksternal, sehingga membatasi makna
realitas dan menghilangkan konsep realitas yang mencakup Tuhan.
Konsekuensi dari perubahan makna ini telah mereduksi Tuhan dan semua
alam spiritual dari ‘yang ada’ (being) menjadi sesuatu yang abstrak dan pada akhirnya ‘tidak nyata’ (unreal).[8]
Bangunan epistemologi al-Attas banyak mengadopsi pandangan-pandangan al-Ghazali (1058-1111) terutama dalam kitab Ma’āridz yang diturunkan dari kitab Shifā’ dan Najāt Ibn Sina (980-1037).[9]
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui epistemologi yang dirumuskan
Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mencakup definisi ilmu pengetahuan
serta bagaimana ilmu pengetahuan tersebut diterima oleh manusia. Makalah
ini tidak membahas obyek ilmu pengetahuan secara spesifik yang
merujuk pada realitas-realitas sebagai hal yang mungkin diketahui oleh
manusia. Al-Attas menjabarkan makna realitas dan hubungannya dengan
ilmu pengetahuan secara mendetail dan komprehensif dalam karya-karya
ilmiahnya sehingga diperlukan kajian tersendiri mengenai permasalahan
tersebut agar terhindar dari pemahaman yang parsial yang berujung pada
kesimpulan yang salah.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Mendefinisikan
ilmu pengetahuan bukan suatu perkara yang mudah. Al-Attas berpandangan
bahwa ketidakmampuan mendefinisikan suatu konsep dengan benar
merupakan salah satu problematika umat Islam saat ini.[10]
Beberapa pemikir muslim beranggapan bahwa mendefinisikan ilmu merupakan
perkara yang mustahil, namun al-Attas perpandangan bahwa ilmu dapat
secara rasm[11]dan bukan hadd. Ilmu berdasarkan hadd memang sulit untuk dibuat karena cakupan ilmu sangat luas dan tidak terbatas.
Al-Attas
mendefinisikan ilmu sebagai tibanya makna ke dalam jiwa bersamaan
dengan tibanya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak
diri.[12]
Tibanya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber asal
pengetahuan, sedangkan tibanya jiwa kepada makna menunjuk kepada jiwa
sebagai penafsirnya.[13]
Maka menurut al- Attas ilmu adalah kesatuan antara orang yang
mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu)
dengan yang diketahui (obyek ilmu). Unsur-unsur makna ini
dikonstruksikan oleh jiwa dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera
ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah swt, dan berarti unsur-unsur
tersebut tidak terdapat dalam obyek-obyek yang ada.[14]
Definisi
tersebut merujuk kepada tiga hal penting yang menjadi dimensi dari ilmu
pengetahuan menurut al-Attas. Tiga hal tersebut adalah jiwa, makna,
serta sifat-sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan. Definisi ilmu
pengetahuan menurut al-Attas juga telah memposisikan jiwa manusia
sebagai entitas spiritual yang aktif untuk mempersiapkan diri dalam
menerima kehadiran makna yang merupakan bentuk intelijibel.
Menurut al-Attas, dalam tradisi Islam, jiwa manusia dikenal dengan sebutan nafs, ‘aql, qalb, dan ruh. Keempat istilah tersebut pada hakikatnya adalah realitas tunggal dengan empat keadaan (ahwal/ modes)
yang berbeda, dan masing-masing terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang
bersifat kognitif, empiris, intuitif dan spiritual. Jiwa itu memiliki
dua aspek dalam hubungan penerima dan pemberi efek. Pada saat menerima
efek, dia berhubungan dengan apa yang lebih tinggi dari “derajat”
dirinya. Jiwa akan berperan sebagai pemberi efek pada saat ia
berhubungan dengan sesuatu yang lebih rendah sehingga timbul prinsip
etis sebagai petunjuk bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan
buruk. Sedangkan pada saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih
tinggi maka pada saat itulah ia akan menerima ‘pengetahuan’.[15]
Jiwa manusia memiliki fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā)
yang termanifestasi melalui hubungannya dengan tubuh. Jiwa mirip sebuah
genus yang terbagi menjadi tiga jiwa yang berbeda yaitu: jiwa vegetatif
(al-nabātiyyah), jiwa hewani (al-hayawāniyyah), dan jiwa insani (alinsāniyyah) atau jiwa rasional (al-nātiqah).
Jiwa vegetatif memiliki fungsi sebagai kekuatan nutrisi, pertumbuhan
dan regenerasi atau reproduksi. Kekuatan khas pada jiwa hewani adalah
penggerak (motive) dan perseptif sedangkan Jiwa insani atau
rasional memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan intelek
kognitif. Intelek aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia,
mengarahkan tindakan indvidu (dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis
atau intelek kognitif), bertanggung jawab akan emosi manusia, mengatur
obyek fisik dan menghasilkan keterampilan dan seni, serta memunculan
premis-premis dan kesimpulan. Sedangkan Intelek kognitif adalah daya
jiwa untuk menerima kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi
dan intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini bersifat spekulatif (nazariyyah).
Sebagaimana jiwa manusia yang memiliki beberapa istilah, makna(ma’na)
menurut al-Attas juga merujuk kepada beberapa nama. Pada hakikatnya
makna merupakan bentuk intelijibel yang berkaitan dengan kata,
ekspresi, atau simbol yang diterapkan untuk menunjukkan itu. Ketika itu
kata, ekspresi, atau simbol menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) hal itu disebut ‘dipahami’(mahfūm). Sebagai bentuk Intelijibel yang dibentuk untuk menjawab pertanyaan “apa itu?” bentuk intelijibel itu disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Apabila ia dianggap sebagai sesuatu yang ada di luar pikiran, atau secara obyektif hal itu disebut ‘realitas’ (haqīqah).
Sebagai suatu realitas yang membedakan sesuatu dari yang lainnya, maka
ia disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individu’ (huwiyyah). Secara umum makna (ma’na) diartikan sebagai “the recognition of the place of anything in a system”
atau pengenalan terhadap ‘tempat’ dari segala sesuatu di dalam sebuah
sistem. Konsep ‘tempat’ pada definisi makna, mengacu kepada pengenalan
terhadap ‘tempat yang tempat’ yang berkaitan domain ontologis yang
mencakup manusia dan dunia empiris, serta domain ontologis yang mencakup
aspek relijius pada eksistensi manusia.
Makna
harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di dalam
sistem sehingga ilmu pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap
‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan “being”
dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada
letaknya yang wajar dalam sistem, yaitu sistem pemikiran dalam al-Qur’an
yang diuraikan secara sistematis melalui tradisi para nabi dan
dituturkan oleh agama sebagai suatu pandangan alam (worldview ) sehingga menghantarkan kepada pengenalan terhadap Tuhan Semesta Alam.[16]
Hal tini berarti bahwa ilmu pengetahuan tanpa pengakuan terhadap
eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Pengenalan
tempat yang tepat juga mengisyaratkan bahwa Ilmu pengetahuan sejati
harus merujuk kepada otoritas keagamaan.Tradisi keilmuwan Islam
membedakan otoritas menjadi dua jenis. Pertama adalah para sarjana,
saintis dan orang-orang berilmu yang merupakan rangkaian berkelanjutan
dari ucapan orang-orang yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka
memiliki tujuan bersama untuk berbohong. Otoritas kedua adalah utusan
Allah swt yang bersama-sama dengan al-Qur’an dan sunnah-Nya merupakan
otoritas tertinggi sebagai sumber dan saluran ilmu pengetahuan yang
bersifat absolut.[17]
Salah
satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara substansial oleh
al-Attas yaitu sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan
kegunaan dan sifat ilmu dalam pandangan hidup Barat (Western Worldview)
terutama dalam memandang realitas dan hakikat kebenaran. Pandangan
alam Barat tersebut telah menyebabkan pengaburan antara yang haq
dan yang batil, ‘yang sebenarnya’ dengan ‘yang palsu’, karena ilmu
telah terlepas dari Iman atau Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisik
akibat Sekularisasi. Padahal dalam pandangan alam Islami, Iman
mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran pada akal
manusia.[18]
Sifat
dan kegunaan Ilmu pengetahuan menurut al-Attas diantaranya; Ilmu
pengetahuan yang sejati mungkin untuk dicapai manusia karena ciri atau
sifat Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki ketegasan langsung pada
manusia dan tidak bisa menunda keputusan terhadap kebenaran pengetahuan
tersebut di masa mendatang. Ilmu yang benar dapat meyakinkan dan
memahamkan secara nyata dan merupakan sifat yang akan menghapuskan
kejahilan, keraguan dan dugaan. Ilmu Pengetahuan sejati merupakan
pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap obyeknya melalui
kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut pada gilirannya akan
menghantarkan manusia menjadi seseorang yang beradab. Ilmu pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui hidayah Allah swt dan bukan diawali
oleh keraguan sebagaimana epistemologi Barat. Ilmu pengetahuan menurut
al-Attas bersifat tidak netral atau tidak bebas nilai karena ia
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia sebagai
subyek ilmu.
Proses Mengetahui
Ilmu
Pengetahuan akan realitas sesuatu dan sifat-sifat dasar pokok ilmu
pengetahuan dalam Islam, dibangun berdasarkan keyakinan yang
diperloleh melalui fakultas/indera eksternal dan internal, rasio (reason)
dan intuisi, serta berita yang benar. Berita benar tersebut haruslah
didasarkan atas sifat-sifat dasar saintifik atau agama yang
diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.[19]
Menurut al-Attas, Islam tidak akan pernah menerima ataupun terpengaruh
oleh etika serta epistemologi relativisme yang menyatakan bahwa manusia
adalah ukuran tunggal dari segala sesuatu. Premis dasar tersebut telah
melahirkan paham-paham seperti skeptisisme, agnostisme, dan subjektisme,
yang kesemuanya berperan dalam kelahiran modernisme dan posmodernisme.
Dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam[20]
dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh oleh manusia melalui
tahapan persepsi, abstraksi dan inteleksi yang bersifat intuitif. Obyek
ilmu pengetahuan pertama-tama akan melalui tahap persepsi oleh indera
eksternal dan kemudian disalurkan kepada indera internal pertama yaitu
indera umum. Indera umum akan mengabtraksi bentuk dari obyek ilmu
tersebut menjadi citra (image). Citra dari realitas ekternal itu akan disimpan oleh fakultas representatitif (al-khayâliyyah)
ketika obyek ilmu tersebut sudah menghilang dari indera eksternal
tersebut. Citra tersebut kemudian oleh fakultas estimasi akan
ditangkap makna non inderawinya dan membentuk putusan dan pendapat
melalui jalan imajinatif dan bukan jalan analitik, seperti benar dan
salah atau baik dan buruk. Makna non inderawi tersebut akan disimpan dan
direkam oleh fakultas berikutnya, yaitu fakultas retentif dan
rekolektif sampai kehadiran fakultas Imajinasi. Fakultas Imajinasi
bertugas memadukan dan memisahkan makna-makna partikular yang telah
disimpan oleh fakultas retentif berdasarkan rasio praktis maupun rasio
teoritis. Fakultas Imajinasi ini yang kemudian akan menghubungkan jiwa
hewani pada manusia dengan jiwa rasional karena fakultas ini memiliki
dua aspek, yaitu sebagai penerima sensitif dari bentuk-bentuk inderawi,
dan sebagai penerima rasional dari bentuk-bentuk intelijibel.
Setelah proses persepsi dan abstraksi oleh indera, maka bentuk-bentuk intelligible
yang dilokalisasi dan disimpan oleh fakultas-fakultas indera internal,
menunggu proses selanjutnya yaitu proses inteleksi oleh jiwa rasional.
Bentuk-bentuk intelligible dan bahkan bentuk imajinasi kognitif
tidak memiliki penyimpanan fisik. Intelek itu substansi spiritual yang
terpisah dari materi, dia tidak berada di jiwa atau pun dalam tubuh.
Jiwa rasional memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan
intelek kognitif. Intelek aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia,
mengarahkan tindakan indvidu dalam kesepakan dengan fakultas teoritis
dan intelek kognitif, bertanggung jawab akan emosi manusia, mengatur
obyek fisik dan menghasilkan keterampilan dan seni, serta memunculan
premis-premis dan kesimpulan.Intelek kognitif adalah daya jiwa untuk
menerima kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan
intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini bersifat spekulatif (nazariyyah).
Proses abstraksi dari inderawi ke intelligible
adalah merupakan sebuah proses epistemologi agar jiwa hadir kepada
makna. Proses tersebut mengalami belbagai tahapan yang harus dipenuhi
agar tercapai kesempurnaan dan dimulai pada saat indera melalukan
tindakan persepsi terhadap obyek pengetahuan dan mencapai abstraksi yang
sempurna pada saat terjadi proses inteleksi. Sebelum bentuk intelligible
dan universal hadir dalam intelek, bentuk-bentuk inderawi yang
partikular yang tercetak pada fakultas-fakultas indera internal akan
tertinggal dalam entitas-entitas fisik . Bentuk tersebut akan
menampilkan kekuatan perseptif dan fakultas-fakultas dilokalisasi oleh
tubuh dan disimpan oleh pemelihara mereka sebagai bentuk-bentuk
intelektual.
Imajinasi
rasional yang berada di fakultas imajinatif merupakan tempat
beradanya inteligibel potensial yang dengan kehadiran intelek maka
inteligibel potensial tersebut akan berubah menjadi inteligibel aktual.
Namun berubah disini bukan berarti inteligibel itu menjadi bentuk yang
berbeda. Intelligible potensial akan melalui proses inteleksi
yaitu pempertimbangkan, membandingkan dan menganalisis mereka serta
mengabstraksi dari tambahan material untuk tiba pada makna
universalnya. Pertama kali intelek akan memisahkan sifat dasar esensial
mereka dari tambahan aksidental, dari karakteristik yang serupa dan
yang berbeda. Dari makna yang majemuk dalam kesamaannya, intelek dapat
menghasilkan makna tunggal yang universal. Sedangkan dari makna yang
serupa pada setiap ketidaksamaannya, intelek dapat tiba pada makna yang
majemuk. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa intelek dapat
menghasilkan makna tunggal dari makna-makna yang majemuk sekaligus
menurunkan banyak makna dari makna yang tunggal. Kemampuan intelek
inilah yang menyebabkan manusia dapat melakukan pembagian logis dari
genus, spesies dan diferensia dan juga menghasilkan rumusan silogisme
yang melahirkan kesimpulan serta rumusan definisi-definisi. Menurut
al-Attas, aktivitas jiwa dalam menilai terhadap hal-hal yang partikular
hanyalah untuk membawa dirinya kepada sebuah kondisi kesiapan untuk
menerima intelligible dari kecerdasan aktif.
Tibanya
jiwa pada makna adalah melalui intuisi, karena intuisi yang
menyintesiskan apa yang rasio dan pengalaman lihat secara terpisah tanpa
mampu mengkombinasikannya dalam sebuah sistem yang koheren. Intuisi
hadir apabila manusia memiliki kesiapan untuk menerimanya, yaitu ketika
rasio dan pengalaman sudah terlatih dan memiliki kedisiplinan untuk
menginterpretasikannya.[21]
Kesiapan menerima makna menurut al-Attas berkaitan dengan tahapan
perkembangan intelekual manusia atau kemampuan manusia dalam proses
inteleksi. Inteleksi ini bersifat intuitif dan iluminatif yang
ditentukan oleh hidayah dari Allah swt yang berkendak mengilhamkan makna
sebagai bentuk intelligible
ke dalam jiwa manusia. Al-Attas menyatakan bahwa perkembangan
intelektual atau kemampuan intelek manusia melalui empat tahapan .
Proses
perkembangan intelektual manusia berkaitan dengan perkembagan intelek.
Pertama, adalah tahapan intelek material yang merupakan sebuah potensi
murni manusia untuk menerima bentuk-bentuk intelligible namun bersifat tidak aktif. Ketika potensi murni itu diaktifkan oleh kesan-kesan intelligible yang datang dari intelek-dalam aksi (intellect-in-action) maka hal tersebut akan memungkin ia memiliki bentuk-bentuk intelligible tanpa sungguh-sungguh berpikir tentang mereka. Bentuk-bentuk intelligible
ini akan tercetak dan dipelihara dalam intelek material sehingga
intelek ini tidak dalam kondisi potensialitas absolut namun berubah
menjadi intelek mungkin (possible intellect). Pada kondisi ini, intelek telah memiliki prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Pada tahap kedua, intelek mungkin (possible intellect) kembali diaktivasi oleh intelek-dalam aksi (intellect-in action) sehingga possible intellect akan menilai bentuk-bentuk Intelligible yang tercetak padanya. Kondisi ini terus berlangsung sampai possible intellect memiliki
semua bentuk spekulatif dan proses penerimaan berhenti, maka intelek
ini akan mencapai kondisi mapan yang cendrung untuk berpikir tentang
bentuk-bentuk intelligible tersebut. Pada kondisi ini intelek mencapai kesempurnaan dan telah terbentuk pula kebiasaan (habit). Intelek potensial mungkin (possible intellect) pada tahap ketiga berubah menjadi intelek posesif (possesive intellect)
yang bersama-sama dengan intellect-in action akan menyebabkan ia bisa
melakukan tindakan berpikir oleh dirinya sendiri. Tahap perkembangan ini
merupakan tahap ketiga dimana hampir semua manusia mencapai tahapan
ini.
Tahapan perkembangan intelektual yang terakhir yang tidak dialami oleh semua manusia yaitu ketika possive intellect berubah menjadi intelek perolehan (acquired intellect).
Saat itu intelek telah mencapai kondisi aktual yang absolut. Pada
tahap ini intelek mampu merefleksikan apa-apa yang ada dalam dirinya dan
berpikir tentang pemikiran yang sedang dipikirkannya itu
(swa-inteleksi).
Dari ketiga tahap tersebut al-Attas menyebutkan peran intellect-in action sebagai kunci dari semua tahapan dimana intelek mencapai intelektualitas yang tertinggi (acquired intelelect).
Intelek potensial tidak dapat berubah menjadi aktual tanpa adanya
intellect-in action yang disebut al-Attas sebagai kecerdasan aktif (active intelligence, al-‘aql al-fa’aal) yang diidentifikasikan sebagai Ruh Suci (al-ruuh al-qudus) atau secara mendasar diartikan sebagai Tuhan. Dalam hubungannya dengan dengan intelek manusia, kecerdasaan aktif merupakan intellect-in action yang membangkitkan intelek materi (material intellect) dari kondisi tidak aktifnya dengan cara mengaktivasi bentuk-bentuk pemikiran yang universal dan kebenaran abadi menjadi possible intellect. Intelek tersebut akan lebih teraktualisasikan melalui iluminasi dari intelect-in action pada saat bertransformasi menjadi intelek perolehan ketika ia mampu melakukan swa- inteleksi.
Hubungan
antara Kecerdasan Aktif dengan jiwa menurut al-Attas seperti matahari
dan mata. Tanpa ada cahaya matahari yang datang ke mata, maka organ mata
hanyalah sebuah organ potensial dari penglihatan tanpa bisa digunakan
untuk melihat obyek-obyek disekitarnya. Jiwa manusia apabila tidak
mendapatkan cahaya dari Kecerdasan Aktif maka ia tidak akan mampu
merubah intelek potensial menjadi intelek aktual atau inteligibel
potensial menjadi inteligibel aktual. Ketika kekuatan intelektif dari
jiwa-dalam hal ini intelek potensial- menilai hal-hal partikular dalam
imajinasi, tindakan penilaiannya ini menyebabkan ia berada dalam kondisi
kesiapan untuk menerima bentuk intelligible universal dari kecerdasan aktif melalui jalan iluminasi.
Kekuatan
intelektif merupakan sesuatu yang berbeda dengan jiwa rasional, karena
dalam hubungan antara jiwa dengan intelek, jiwa berperan sebagai agen
sedangkan intelek adalah instrumennya, seperti pisau dengan tindakan
pemotongan. Namun pada kenyataannya menurut al-Attas, jiwa, intelek dan
pikiran (mind) menunjuk kepada entitas yang sama. Ia disebut intelek
karena entitas tersebut perseptif, disebut jiwa karena memerintah
tubuh, dan disebut pikiran karena ia cendrung untuk menangkap
realitas-realitas. Letak jiwa independen dari tubuh, namun demikian
jiwa membutuhkan tubuh di dunia fisik untuk memperoleh prinsip-prinsip
dari ide dan kepercayaan-kepercayaan. Hubungan inilah yang membuat jiwa
mampu mendapatkan hal-hal yang partikular dari kekuatan hewaninya yaitu
data-data yang diperolehnya melalui indera-indera.
Sebagaimana
telah dipaparkan di atas bahwa obyek ilmu pengetahuan akan melalui
tahapan persepsi, abstraksi dan inteleksi sampai pada akhirnya makna
tiba pada jiwa manusia.
Implikasi terhadap dunia Pendidikan
Implikasi
dari epistemologi al-Attas terhadap dunia pendidikan sangatlah besar
terutama dalam bidang pengajaran dan dapat menjadi argumentasi untuk
menolak sekularisasi di bidang pendidikan. Al-Attas dalam
epistemologinya secara tegas menekankan bahwa keseluruhan proses
pendidikan pada dasarnya adalah proses pendidikan jiwa. Sekularisasi
berusaha menghilangkan Tuhan dan realitas metafisik dalam logika dan
pikiran manusia sehingga kurikulum pendidikan saat ini tidak menekankan
pentingnya mempersiapkan jiwa manusia untuk menerima makna yang bersifat
spiritual. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sejati haruslah diajarkan
melalui pendidikan berbasis pandangan alam (worldview) Islam agar jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui latihan dan kedisiplinan dalam mempraktekan ajaran-ajaran Islam.
Epistemologi
al-Attas yang mengacu pada tradisi intelektual Islam juga menjadi
antitesis bagi konsep kecerdasan spiritual yang dikembangkan Barat.
Menurut Danah Zohar, sebagai salah seorang tokoh yang mempopulerkannya,
Kecerdasan Spiritual (SQ) merupakan kapasitas bawaan otak manusia yang
memberi manusia kemampuan dasar untuk membentuk makna dan keyakinan. SQ
tidak memiliki hubungan dengan agama institusional. Menurut Zohar,
seseorang yang ber SQ tinggi bisa jadi tidak memeliki keyakinan relijius
dan seorang yang sangat relijius sangat mungkin memiliki SQ yang sangat
rendah. [22]
Konsep SQ tersebut tentunya datang dari Worldview Barat yang
dualistis, yang memisahkan antara spiritualitas dengan relijiusitas.
Makna, nilai dan keyakinan yang dimaksud Zohar, sangat condong kepada
aktualisasi manusia dalam hubungannya dengan dunia materi atau fisik
sehingga aktivitas keagamaan hanya dianggapnya sebagai “salah satu”
pilihan untuk mengatasi krisis eksistensi yang melanda manusia modern.
Epistemologi
al-Attas menjelaskan bahwa inti dari ilmu pengetahuan adalah datangnya
makna kepada jiwa. Hal hal tersebut secara implisit mengisyratkan bahwa
kecerdasan manusia pada dasarnya adalah kemampuan manusia menempatkan
segala sesuatu pada tempat yang tepat, termasuk di dalamnya menempatkan
Tuhan swt sebagai realitas yang tertinggi dalam kerangka berpikirnya.
Pengakuan terhadap Tuhan tersebut harus diikuti dengan ketaatannya
mengikuti syari’at Tuhan yang termaktub dalam ajaran Islam, sebagai
jalan pembuktian penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu,
dalam Islam, tidak ada konsep kecerdasan spiritual sebagaimana definisi
Barat. Semua kercerdasan pada dasarnya memiliki dimensi spiritualitas
karena aktivitas intelektual merupakan aktivitas jiwa yang terhubung
dengan Allah swt sebagai pemberi makna dan mengilhamkannya kepada diri
manusia.
Implikasi
lainnya dari epistemologi yang dikembangkan al-Attas adalah konsep
pendidikan karakter yang dikembangkan Barat saat ini tidak mungkin
dapat mencetak manusia-manusia beradab. Menurut al-Attas, prinsip etika
yang sejati dan universal dibangun oleh jiwa manusia ketika jiwa
berhubungan dengan tubuh (entitias fisik) setelah mendapatkan
pengetahuan yang benar dari Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Al-Attas
juga menegaskan pentingnya kedudukan otoritas wahyu sebagai penjamin
dari tindakan etis manusia yang diperolehnya melalui kebijaksanaan
ketika manusia memperoleh ilmu pengetahuan sejati. Konsekuensinya, etika
universal tidak akan mungkin diperoleh dari epistemologi yang
menganggap Tuhan, Jiwa atau realitas metafisika tidak memiliki
obyektifitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Penolakan
terhadap eksistensi jiwa manusia mencapai puncaknya oleh kehadiran
positivisme yang diilhami tulisan Auguste Comte pada awal abad ke
sembilan belas. Aliran ini sangat menolak pemikiran metafisis karena
dianggap sebagai sebuah ilusi dan menganggap aktivitas ilmiah sebagai
suatu aktivitas yang bebas nilai.[23]
Adalah sesuatu yang utopis apabila pendidikan karakter yang universal
dirumuskan oleh mereka yang berkiblat pada epistemologi Barat. Oleh
karena itu umat Islam hendaknya mengembangkan konsep akhlak yang
memiliki definisi yang komprehansif dan berakar pada tradisi intelektual
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.
Penutup
Epistemologi
Islam menurut Al-Attas menekankan pentingnya intuisi dalam perolehan
ilmu melalui proses iluminatif. Intuisi yang dijabarkan al-Attas berbeda
dengan intuisi yang didefinisikan kebanyakan pemikir-pemikir Barat yang
hanya menghubungkan intuisi dengan elemen-elemen indrawi (sensational elements) seperti yang dikembangkan oleh pemikir Barat salah satunya adalah Henry Bergson (1859-1941).[24] Intuisi dalam konsep al-Attas bukan hanya pengenalan langsung dan cepat dan cepat (direct and immediate)
subyek ilmu kepada dunia eksternal, kebenaran rasio dan nilai-nilai
universal. Namun intuisi merupakan pengenalan langsung dan cepat
terhadap kebenaran relijius, yaitu realitas dan eksistensi Tuhan.
Pengenalan tersebut diperoleh melalui intuisi tingkat tinggi yang
disebut intuisi akan eksistensi (intuition of existence). Intuisi ini menurut al-Attas adalah pekerjaan dari hati (qalb).[25]
Epistemologi
al-Attas menekankan pada proses persepsi dan inteleksi yang bersifat
intuitif sehingga hal ini menegaskan bahwa proses memperoleh ilmu
pengetahuan merupakan aktivitas spiritual yang menjadi perbedaan
mendasar antara epistemologi Islam dan Barat. Keterlibatan kognitif
dalam epistemologi melibatkan dunia materi dan intelek, atau tubuh dan
pikiran.[26]
Pernyataan ini merupakan ciri dari epistemologi Islam yang dijabarkan
al-Attas yang menyatukan Rasionalisme dan Empirisme, sekaligus
mengafirmasi pengetahuan a priori dan pengetahuan a posteriori.
Sejarah filsafat Barat secara umum hanya mengakui akal dan pengalaman
indera sebagai sumber paling otentik dalam mencapai ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi yang dipaparkan al-Attas, rasio dan intuisi
terhubungkan melalui perantara intelek.
Epistemologi
al-Attas juga memiliki implikasi pada dunia pendidikan saat ini,
yaitu pertama, menekankan pentingnya pendidikan berbasis pandangan
alam Islami (worldview Islam) agar manusia memiliki kesiapan
untuk menerima ilmu pengetahuan yang benar. Kedua, epistemologi al-Attas
merupakan antitesis terhadap konsep kecerdasan spiritual yang
dirumuskan Barat karena pada dasarnya semua kecerdasan memiliki dimensi
spiritualitas yang terhubung dengan Allah swt sebagai pemberi makna dan
mengilhamkannya kepada diri manusia. Ketiga, konsep pendidikan karakter
yang bersifat universal tidak mungkin diperoleh dari epistemologi Barat
yang menganggap realitas metafisika tidak memiliki nilai ilmiah sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu umat Islam diharapkan mampu
mengembangkan konsep akhlak yang berakar pada tradisi intelektual Islam
dan tidak mengadopsi konsep pendidikan karakter Barat yang sekuler.
[1] Vincent E. Hendricks, Mainstream and Formal Epistemology, Cambridge : Cambridge University Press, 2006, hlm. 1
[2] Jonathan Ree (ed), The Concise Encyclopedia of Western Philosophy, 3rd Edition, New York : Routledge, 2005, hlm. 112-113
[3] Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Cetakan ke-17, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009, hlm.9
[5] Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burden ; An Essay in the History and Philosophy of Science, Istanbul : Fatih Universiti Yyinlari, 2000, hlm. 26
[7] Alparslan Acikgenc, The Emergence of Scientific Tradition in Islam, Manchester : FSTC Limited, 2006, hlm. 10, http://www.fstc.co.uk
[8] Syed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, hlm. 5
[9]
Namun menurut al-Attas, al-Ghazali telah memodifikasi konsep para
filsuf Islam tersebut dan mengafirmasi bahwa apa yang diafirmasi mereka
tidak berlawan dengan agama dan sebaliknya agama meminjam dukungan teori
mereka dalam hal ini. Hanya saja klaim tentang keutamaan intelek
sebagai petunjuk satu-satunya untuk mengetahui sifat dasar realitas
dibantahnya dalam kitab tahaafut yang ditulisnya. Lihat catatan kaki
al-Attas dalam buku Prolegomena to the metaphysic of Islam,2001, hlm. 167
[10]Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 142.
[11]
Hadd merupakan definisi yang menspesifikasikan ciri-ciri utama yang
membedakan obyek yang didefinisikan dari obyek lainnya. Contohnya adalah
‘manusia adalah hewan yang berpikir” (hayawaan naathiq). kemampuan
berbicara (nuthq) yang merupakan manifestasi dari daya berpikir itulah
yang menjadikan manusia beda dari spesies-spesies lainnya yang terdapat
dalam genus hewan. Sedangkan definisi Rasm adalah definisi yang
menerangkan ciri-ciri utama suatu obyek, dan bukan esensi dari obyek
tersebut. Contoh, “manusia adalah makhluk yang tertawa”. Jika dalam
kategori hadd
manusia dipisahkan dari jenis hewan lainnya, namun definisi rasm hanya
menerangkan salah satu aspek dari manusia. lihat Wan Muhammad Wan Daud,
hlm. 143-144
[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 13, 39
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur : International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001, hlm. 133.
[20] Proses mengetahui dalam epistemologi al-Attas yang dipaparkan dalam makalah ini disarikan dari buku al-Attas yang berjudul Prolegomena to the Metaphysics of Islam terutama bab mengenai Psikologi Jiwa Manusia, serta bab mengenai Islam dan Filsafat Sains.
[22] Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital; Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Cetakan kedua, Bandung : Mizan, 2005, hlm. 116.
[23] Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Cetakan Kedua, Yogyakarta : AK Group, 2007, hlm. 60
[24] Intuisi menurutnya adalah mengetahui secara langsung atau “to know directly”. Melalui metode intuisi, kepercayaan filosofis (philosophical belief) dibangun melalui kebenaran yang dipersepsikan secara langsung (directly pereceived truth). Pengetahuan langsung dari pikiran tersebut tidak memerlukan simbol-simbol (one can directly experience one’s mind, Such direct knowledge of the mind does not require symbols). Lihat James A. Gould (ed), Classic Philosophical Questions, Sixth Edition, Colobus : Merrill Publishing Company, 1989, hlm. 221
[26] Ibid, 167